Seorang anak perempuan memeluk ayahnya sebelum masuk kembali ke kelasnya di hari pertama kembali ke sekolah/ Foto: Twitter @Yalda Hakim
Seorang anak perempuan memeluk ayahnya sebelum masuk kembali ke kelasnya di hari pertama kembali ke sekolah/ Foto: Twitter @Yalda Hakim
KOMENTAR

SEBUAH foto yang menyayat hati diunggah Yalda Hakim, host program berita Impact with Yalda Hakim, melalui akun Twitternya; seorang ayah yang menghibur anak perempuannya yang datang ke sekolah hanya untuk mengetahui bahwa Taliban meneruskan larangan bagi anak perempuan Afghanistan mendapatkan pendidikan.

Jurnalis kelahiran Kabul, Afghanistan tahun 1983 itu juga mendirikan Yalda Hakim Foundation yang fokus pada pendidikan anak-anak Afghanistan. Salah satunya, ia bekerja sama dengan Oxford University untuk menambah kuota beasiswa bagi para remaja putri Afghanistan yang ingin melanjutkan kuliah.

Serupa dengan duka yang dirasakan anak perempuan dalam foto tersebut, ada Marzia yang sangat bersemangat tentang sekolah yang dimulai kembali. Pagi hari, di rumahnya di puncak bukit bagian barat kota Kabul, ia mengemasi tasnya untuk berangkat ke sekolah (23/3/2022), seperti dilaporkan BBC. Pertama kalinya sejak Taliban berkuasa Agustus tahun lalu.

Marzia dan 200 remaja putri lain di sekolah Sayed ul Shuhada berharap akan ada masa depan yang cerah bagi mereka. Meskipun keluarga masih berdebat apakah sekolah benar-benar dimulai dan apakah anak-anak mereka aman untuk kembali ke sekolah.

Sejak Agustus, di sebagian besar Afghanistan, hanya sekolah dasar perempuan yang tetap buka, bersama dengan semua sekolah laki-laki. Dan ketika tahun ajaran baru dimulai, sekolah menengah perempuan akhirnya dibuka kembali bersama dengan lembaga lainnya.

Hari pertama sekolah ini diwarnai rasa haru mendalam. Tahun lalu lebih dari 90 teman sekelas dan staf sekolah mereka tewas dalam serangan oleh afiliasi lokal dari kelompok Negara Islam.

"Bom bunuh diri pertama terjadi sangat dekat dengan saya," kata salah seorang murid bernama Sakina, sambil matanya berkaca-kaca.

"Ada banyak orang mati di depan saya ... saya tidak berpikir saya akan selamat."

Karena itulah menurut Sakina, pendidikan menjadi sebuah 'balas dendam' untuk meneruskan cita-cita para guru dan teman yang telah meninggal dunia.

Namun saat mereka memasuki ruang kelas, para murid menyeka debu dari meja, beberapa guru mengatakan, tanpa diduga, bahwa sekolah harus ditutup lagi.

Pejabat pendidikan Taliban setempat mengirimkan pesan WhatsApp kepada kepala sekolah, mengatakan sekolah menengah perempuan akan tetap tutup sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Para siswa bereaksi dengan kaget. Beberapa mulai menangis. “Kami hanya ingin bisa belajar dan melayani rakyat kami,” kata Fatima kepada kami.

"Negara macam apa ini? Apa dosa kita?"

"Kalian selalu berbicara tentang Islam, apakah Islam mengatakan untuk memperlakukan perempuan seperti ini?" ujar Fatima lagi.

Sulit untuk memahami alasan Taliban. Aziz-ur-Rahman Rayan, juru bicara Kementerian Pendidikan, mengatakan semua persiapan telah dilakukan untuk pembukaan kembali sekolah. Namun ternyata pimpinan pusat memerintahkan untuk tetap menutup sekolah sampai "rencana komprehensif pendidikan sesuai syariah dan budaya Afghanistan telah rampung".

Sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, sekolah menengah di Afghanistan sudah dipisahkan untuk murid laki-laki dan murid perempuan, sementara seragamnya terdiri dari pakaian hitam sederhana dan jilbab putih.

Di sejumlah provinsi, pejabat lokal Taliban sudah mengizinkan sekolah menengah perempuan dibuka kembali tahun lalu meski tidak ada kebijakan resmi dari pusat.

Namun demikian, tokoh-tokoh Taliban mengakui masalah pendidikan perempuan adalah salah satu yang kontroversial di antara elemen-elemen garis keras mereka. Keputusan pada menit terakhir untuk menutup sekolah kembali bahkan mengacuhkan kementerian pendidikan mereka sendiri.

Perbedaan pandangan dalam Taliban terkadang berkorelasi dengan lokasi geografis. Di salah satu bagian utara negara yang lebih kosmopolitan, bahkan di bawah "pemerintah bayangan" yang didirikan Taliban selama pemberontakan tahun lalu, seorang pemimpin lokal pernah dengan bangga memamerkan sekolah perempuan kepada jurnalis yang berkunjung.

Sebaliknya, di bagian pedesaan yang konservatif, provinsi Helmand selatan, seorang pejuang Taliban mengatakan, "Jika anak perempuan ingin belajar, saudara laki-laki mereka dapat bersekolah lalu mengajarkan ilmu kepada mereka."

Tetapi saat ini, bahkan di daerah yang paling konservatif, mayoritas keluarga Afghanistan tampaknya mendukung pendidikan perempuan. Banyak masyarakat mempertanyakan apakah Taliban telah berubah sejak mereka berkuasa pada 1990-an ketika semua perempuan dipaksa mengenakan burka bahkan sekolah dasar perempuan pun ditutup.

Saat ini, gambarnya lebih bernuansa. Dalam sebuah studi Bank Dunia baru-baru ini, diketahui bahwa sebenarnya ada peningkatan kehadiran perempuan di sekolah dasar sejak mengambil alih kekuasaan. Perempuan juga diperbolehkan untuk kuliah selama kelas dipisah antara laki-laki dan perempuan..

Namun keputusan mendadak untuk menutup sekolah menengah perempuan—yang seharusnya menjadi hari pertama masuk sekolah—menyiratkan bahwa ternyata masih ada jurang antara kepemimpinan Taliban dan masyarakat Afghanistan kontemporer.




Donald Trump vs Kamala Harris, Siapa Bakal Menang?

Sebelumnya

Dukung Riset dan Publikasi Ilmiah, Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Luncurkan Jurnal Yustisia Hukum dan HAM “JURNALIS KUMHAM”

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News