SANGAT mungkin di antara ibu-ibu ada yang tidak suka dengan perbincangan suami istri berikut ini. Namun, dalam rangka menyelami samudra hikmah, tidak ada salahnya toh diulas. Begini kejadiannya:
Justru istri yang membuka percakapan dengan tema paling mendebarkan bagi kaum Adam, apalagi kalau bukan poligami, alias ta’adud atau tambah bini.
Kejutannya bukan hanya karena malahan istri yang membuka percakapan dengan tema teramat sensitif, tetapi tanggapan suaminya juga tak kalah mengguncang hati. Ternyata dirinya tergolong lelaki yang setuju poligami, “Karena toh agama memperbolehkan,” alasannya.
Apakah ujungnya ke pelaminan lagi?
“Tapi, sayangnya saya tidak mampu adil,” tegasnya.
Apakah maksudnya khawatir akan menelantarkan istri tua beserta anak-anaknya?
Ternyata tidak! Dia justru takut tidak adil kepada bini baru. Lho kok bisa? Bukannya daun muda itu lebih segar?
Sekian lama menjalani jatuh bangun kehidupan bersama istri, maka lautan cinta yang mendalam itu membuat sang suami tidak mampu mengisi hatinya dengan yang lain. Perempuan jelita banyak bertaburan di persada bumi, tetapi hanya sang istri yang terbukti mempersembahkan kesetiaan tak berbatas, yang tidak terlukiskan oleh kata-kata cinta sekalipun.
Barangkali percakapan di atas kurang memuaskan bagi kalangan yang pro poligami. Namun, agar kisah di atas tidak terkesan absurd, ada baiknya dikupas pula suatu kisah teladan.
Dan adalah Khadijah, ya lagi-lagi disebut nama mulia itu untuk dijadikan ibrah. Kekuatan cinta luar biasa yang membuat Khadijah demikian tangguh bertakhta di hati Nabi Muhammad. Sekiranya Tuhan berkehendak, Khadijah ingin senantisa mendampingi perjuangan kebenaran suaminya, Khadijah rela menempuh onak duri hingga api.
Namun, apalah daya! Sekuat-kuatnya keinginan Khadijah menunaikan pengabdian sebagai istri, dia tidak mampu menghindar dari kehendak Allah, dan Khadijah tidak mampu menghindari ajal. Hingga purnalah tugas sucinya sebagai pendamping setia dalam berbagai lara, dengan akhir berupa kematian terindah.
Duka cita mendalam pun mengguncang kalbu Rasulullah akibat kehilangan belahan hatinya, hingga tahun itu pun disebut amul huzni atau tahun duka cita.
Tahun-tahun panjang yang memedihkan tidak pernah disesali oleh Khadijah, yang mengorbankan segenap kekayaannya demi menyokong perjuangan suaminya dan membela kaum muslimin yang teraniaya.
Bahkan ketika kaum muslimin diboikot oleh musyrikin Quraisy hingga tersingkir di lembah-lembah berbatu di luar Mekah, maka Khadijah yang bolak-balik memanggul bahan makanan tanpa gentar dengan ancaman.
Seandainya! Ini kalau berandai-andai ya! Sekiranya Nabi Muhamamd terdesak oleh serangan musuh, bahkan Khadijah yang telah tiada pun rela tulang belulangnya dijadikan suami penangkis sabetan pedang musuhnya. Begitulah dahsyatnya keikhlasan Khadijah, yang bukan hanya mendampingi tetapi membela suaminya.
Ini kan seandainya ya!
Akan tetapi apa yang telah dipersembahkan oleh Khadijah melebihi imajinasi kita tentang kesetiaan dan pengorbanan seorang istri.
Namun, setiap tugas ada akhirnya, dan Khadijah pun telah purna tugas. Tidak ada makhluk yang dapat mengingkari ajalnya.
Dan ternyata, kematian pun tidak dapat mengubur Khadijah, namanya tetap hidup di hati Nabi Muhammad selamanya. Bait-bait kenangan telah menggerakan bibir suci beliau memuji Khadijah di hadapan istri-istri lainnya.
Nah, bagaimana nih dengan para istri zaman now? Apakah masih galau dengan godaan yang kian kencang mengepung suami?
Apabila karakter Khadijah yang menjelma dalam sanubari, niscaya ibu-ibu akan tetap terpatri abadi di hati suami. Bahkan kematian pun tidak akan mampu mengubur sang istri, yang tetap hidup di lubuk hati suami. Lihat saja Nabi Muhammad, atas perintah Allah dan demi kesuksesan dakwah, beliau pun menikahi beberapa perempuan lagi, tetapi hanya Khadijah yang terus disebut-sebut oleh bibir sucinya.
Nurani tidak akan mampu memungkiri tentang siapa yang telah setia dalam cinta, tentang siapa yang rela berkorban raga dan jiwa, tentang siapa yang siap sepanjang hayat tegar mendampingi.
Banyak sekali buku-buku bermutu yang mengulas kehidupan Khadijah, akan tetapi tak kalah menarik pendapat yang disampaikan oleh M. Khalilurrahman Al Mahfani pada bukunya Wanita Idaman Surga (2012: 254), pengorbanan yang dilakukan Khadijah, memberikan kesempatan dan keleluasaan yang sebesar-besarnya kepada Nabi Muhammad, untuk memasuki dunia berpikir sehingga mendapatkan hakikat kebenaran yang mutlak.
Bahkan ketika risalah kebenaran yang bernama agama Islam belum resmi diturunkan Ilahi Rabbi, Khadijah telah memberi dukungan terbaik agar suaminya menempuh jalan-jalan kebenaran tersebut. Suaminya diberikan kebebasan untuk menemukan kebenaran, karena selagi suami memahami yang benar, maka dirinya akan tahu pula cara-cara yang benar dalam mencintai istrinya.
KOMENTAR ANDA