DUTA Besar Rusia untuk Indonesia H. E. Lyudmila Georgievna Vorobieva telah bertugas di Indonesia sejak tahun 2018.
Dalam kariernya sebagai diplomat sejak tahun 1989, ia pernah bertugas di Laos, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Negara-negara Asia Tenggara dengan budaya yang tak asing karena ia dibesarkan di Thailand dan Laos mengikuti tugas orangtuanya yang juga seorang diplomat.
Meski mengaku tak pernah terpikir untuk menjadi duta besar, H. E. Lyudmila fokus menjalankan peran untuk menyeimbangkan kepentingan negaranya sekaligus meningkatkan kerja sama dengan negara tempatnya bertugas.
Sejak perang berkecamuk antara Rusia dan Ukraina jelang akhir Februari 2022, Dubes Lyudmila menjadi orang yang paling banyak dicari untuk memberikan informasi terkait kondisi terkini dan solusi untuk mengakhiri perang.
Salah satunya, H. E. Lyudmila bersedia hadir dalam perbincangan RMOL World View dengan tema "How Russia Ends the War" bersama Teguh Santosa (CEO RMOL Network) yang digelar secara hybrid dari Kopi Timur, Jakarta (30/3/2022).
Bagaimana sosok H. E. Lyudmila di luar ingar-bingar dunia politik? Berikut perkenalan singkat Farah.id dengan dubes Rusia kelahiran Kyiv ini.
Apa yang membuat Anda tertarik pada politik?
Wah, ini pertanyaan menarik. Sebenarnya saya tidak punya cita-cita ingin terjun ke politik atau menjadi diplomat. Namun awalnya, saya memang jatuh cinta pada Asia Tenggara.
Ayah dan ibu saya keduanya diplomat. Saya pernah tinggal di Thailand, saya bisa berbahasa Thailand, saya bahkan memiliki pengasuh orang Thailand. Suami saya bahkan menjuluki saya "Thai wife" karena saya dibesarkan dalam budaya Thailand. Kemudian saya juga pernah tinggal di Laos, mengikuti tugas ayah. Maka ketika saya kuliah, saya juga mempelajari bahasa Thailand dan bahasa Laos.
Saya tidak pernah berpikir saya akan menjadi seorang diplomat. Saya pernah ditanya, apakah menjadi duta besar adalah impian saya, saya mengatakan bahwa impian saya sebenarnya adalah ingin menjadi ambassador's wife. Tapi saya gagal (ia mengatakannya sambil tertawa-red). Akhirnya, sayalah yang menjadi duta besar.
Saat saya lulus dari universitas, waktu itu masih era Soviet. Pada saat itu perempuan tidak diperbolehkan menjalankan tugas di luar negeri. Itu bukan yang tertulis, tapi itu yang terjadi di lapangan.
Jadi setelah saya lulus kuliah, saya mengajar bahasa Laos di almamater saya. Terus terang, saya sangat tertarik pada linguistik dan filologi. Saat itulah Duta Besar Soviet untuk Laos membutuhkan penerjemah dan dia mengundang saya. Tentu saja saya mengiyakannya, karena saya mencintai negara itu dan pernah tinggal lama di sana. Itulah awal mula karier saya bekerja di kedutaan.
Karena kecintaan saya terhadap Asia Tenggara, juga terhadap ilmu bahasa dan filologi, saya mengembangkan semuanya dalam diplomasi dan politik.
Apa pendapat Anda tentang perempuan Indonesia, khususnya jika kita bicara tentang pemberdayaan perempuan?
Saya akan membandingkannya dengan perempuan Rusia. Di Rusia, perempuan sangat feminin, cantik, tapi juga sangat kuat.
Ada sebuah puisi Abad-19 berjudul Russian Women (karya Nikolai Nekrasov) tentang perempuan Rusia yang sangat kuat, bahkan ia dapat memasuki rumah yang terbakar, mematikan apinya, sekaligus menghentikan kuda yang berlari kencang. Puisi itu menunjukkan keberanian para perempuan Rusia dan kesediaan mereka untuk melakukan tindakan heroik.
Kami bisa melakukannya dan perempuan Indonesia juga bisa melakukannya.
Apa arti keluarga untuk Anda? Dan dukungan seperti apa yang diberikan keluarga saat Anda jauh dari mereka?
Keluarga sangat penting artinya bagi saya. Di Rusia, kami tergolong konservatif, kami memiliki nilai tradisional. Suami saya sangat mendukung profesi saya. Dia adalah malaikat untuk saya, sangat mampu menoleransi pekerjaan saya dalam waktu yang panjang.
Karena kita tahu, meskipun banyak perubahan terjadi di dunia, dalam masyarakat modern sekali pun, tidak mudah bagi seorang laki-laki untuk merasa bahagia dengan kesuksesan yang diraih pasangannya.
Tapi suami saya sangat mendukung, anak perempuan saya bahkan sudah menjadi diplomat, saat ini ditugaskan di China. Dia di sana bersama menantu saya. Sayangnya kami sudah 2 tahun belum bertemu akibat Covid. Sangat sulit untuk bepergian ke China saat ini. Hal ini yang paling saya sesalkan.
Meskipun banyak media komunikasi modern seperti whatsapp, skype, semua tidak sama (dengan pertemuan langsung). Semoga pandemi Covid segera berakhir agar saya bisa segera berjumpa dengan putri saya.
KOMENTAR ANDA