MEMILIKI anak memang identik dengan biaya super besar, tak peduli di negara mana pun kita menetap.
Kita selama ini berpikir bahwa biaya melahirkan, membesarkan anak, hingga menyekolahkan anak sampai usia 18 tahun yang paling mahal tentu berada di negara-negara Eropa atau Amerika Serikat.
Faktanya, Korea Selatan berada di puncak daftar tempat termahal untuk membesarkan anak sejak lahir hingga usia 18 tahun, diukur dari produk domestik bruto (PDB) per kapita, menurut riset Jefferies Financial Group.
Di urutan kedua ada China yang diikuti Italia di urutan ketiga. Sedangkan Amerika Serikat berada di posisi 14, di antara Jerman dan Jepang.
Dilansir The Korean Herald, data Institut Perawatan dan Pendidikan Anak Korea menunjukkan hasil survei 1.119 rumah tangga dengan anak kecil menghabiskan rata-rata 198.000 won per bulan (sekitar US$162) untuk penitipan anak. Padahal sejak tahun 2013, negara telah memiliki program untuk menyediakan penitipan anak yang bebas biaya.
Hasil survei itu mengungkapkan adanya kekurangan dari program pemerintah yang menawarkan hingga 200.000 won setiap bulan untuk rumah tangga dengan anak-anak berusia 0-5 tahun. Yaitu terbatasnya jumlah pusat penitipan anak dan TK yang dikelola negara. Sementara institusi yang dikelola swasta umumnya lebih mahal.
Meskipun Korea Selatan berada di posisi puncak, namun dalam hal jumlah absolut uang yang dihabiskan, ternyata China menjadi tempat paling mahal untuk membesarkan anak-anak.
Mengapa membesarkan anak-anak di Asia Timur begitu mahal?
Sebagian besar dikarenakan biaya pendidikan dan biaya perawatan anak di usia balita. Layanan pra-sekolah di China sebagian besar dimiliki pihak swasta.
Selanjutnya, dibutuhkan lebih dari $75.000 untuk membesarkan seorang anak sampai usia 18 tahun di China, dan $22.000 lagi untuk menyekolahkan mereka di universitas.
Meskipun kedengarannya seperti biaya kuliah yang jauh lebih murah daripada yang mungkin dihadapi siswa di Amerika Serikat, Jefferies menjelaskan bahwa student loan terbilang langka di China dibandingkan di Amerika.
Padahal dengan student loan, beban orangtua Amerika berkurang karena utang langsung berpindah ke anak-anak mereka. Data College Board menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2019-2020, sebanyak 55 persen mahasiswa lulus dengan utang.
Ditambah lagi, tingkat kelahiran di negara-negara kaya cenderung lebih rendah daripada di negara-negara berkembang. Hal ini dikenal sebagai "paradoks ekonomi-demografis"; mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar memilih untuk memiliki lebih sedikit anak daripada mereka yang berpenghasilan rendah.
Analis Jefferies menerangkan bahwa ketika China berkembang secara ekonomi, sangat mungkin negara itu akan jatuh ke dalam paradoks ekonomi-demografis seperti banyak negara maju lainnya.
Pun saat ini, banyak pasangan di China enggan memiliki anak lebih dari satu karena mahalnya biaya membesarkan si buah hati. Sementara pasangan di negara-negara Barat tampaknya menginginkan dua hingga tiga anak.
Tren demografis seperti tingkat kelahiran mau tidak mau akan memengaruhi bisnis dan ekonomi suatu negara. Tren demografis juga mempengaruhi pergerakan perusahaan dan saham hingga beberapa dekade ke depan.
Dilansir Thaiger, Jefferies mencatat bahwa ketika negara memiliki populasi yang menua, populasi pekerja menurun, negara akan memiliki masalah dengan sistem kesejahteraan sosial termasuk jaminan sosial dan pensiun publik.
Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Pemerintah sebenarnya memiliki banyak opsi untuk mengurangi berbagai biaya pendidikan usia dini dan perawatan balita. Salah satunya dengan mensubsidi penitipan anak guna membatasi kesenjangan kelas ekonomi para orangtua.
Salah satu negara yang bergerak ke arah itu adalah China. Dalam rencana lima tahunnya, mereka bertujuan menambah jumlah tempat penitipan batita secara signifikan. Saat ini diketahui ada 42 juta batita di China.
Intinya, negara harus mampu menyediakan layanan pendidikan gratis yang lebih komprehensif dan/ atau mengatur harga lembaga pendidikan swasta agar tidak terlalu tinggi.
Diharapkan pula ada lebih banyak dorongan berkelanjutan dan signifikan untuk mengurangi biaya membesarkan anak secara global, termasuk dengan keringanan pajak, pemberian uang tunai, serta subsidi.
KOMENTAR ANDA