ENTAH mengapa perempuan di masa lampau diposisikan sebagai warga kelas dua yang dianggap inferior dibandingkan laki-laki. Padahal peran signifikan perempuan dalam kehidupan umat manusia jelas-jelas tidak bisa dilakukan laki-laki; melahirkan.
Itu artinya, laki-laki tidak bisa menutup mata terhadap peran perempuan dalam menjaga keberlangsungan umat manusia di muka bumi.
Seiring zaman, para perempuan penyuara kesetaraan kemudian berjuang agar anggapan merendahkan itu bisa dihapuskan. Tapi ya, prosesnya jauh dari kata mudah.
Di samping kesulitan mengubah paradigma tentang perempuan yang kadung melekat di pikiran para laki-laki, terlalu lamanya konsep sumur-dapur-kasur dilekatkan pada perempuan, juga membuat banyak perempuan mulai mengiyakan anggapan inferior itu.
Banyak perempuan tak punya rasa percaya diri untuk melangkah bahkan memandang rendah diri mereka sendiri. Nrimo dengan peraturan yang mengekalkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.
Tidak mau menantang diri untuk belajar, menolak untuk memahami dunia yang lebih luas, dan mengundurkan dari kemajuan zaman.
Berbagai stigma seputar ketidakmampuan perempuan perlahan-lahan terkikis. Meski belum adil dan merata di segala penjuru bumi, diskriminasi terhadap perempuan sedikit demi sedikit mulai berkurang.
Banyak perempuan yang bisa membuktikan diri bahwa mereka tak kalah cerdas dan inovatif seperti laki-laki.
Di zaman perang melawan penjajah, kita mengenal sejumlah nama perempuan seperti Tjut Nyak Dhien, H. R. Rasuna Said, Nyi Ageng Serang, Ratu Zaleha dari Kalimantan Selatan, juga Opu Daeng Risadju asal Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak perempuan pejuang lain yang menentang penjajahan.
Pun seiring perkembangan zaman, perempuan cerdas Indonesia kian bergaung namanya.
Ada nama Pratiwi Sudarmono, guru besar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang hampir mencatatkan namanya sebagai astronot perempuan Indonesia pertama setelah berhasil menyelesaikan latihan bersama NASA. Apa daya, misi luar angkasa dengan pesawat Columbia harus dibatalkan setelah hancurnya pesawat ulang alik Challenger pada Januari 1986.
Tapi bukan hanya tentang program luar angkasa NASA, Pratiwi merupakan perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar Ph.D bidang kedokteran di Jepang.
Demikian pula dalam ajang L'Oreal-UNESCO for Women in Science, sejumlah ilmuwan perempuan Indonesia juga menorehkan prestasi. Pada tahun 2018, ada nama Sylvia Ayu Pradanawati, Yessie Widya Sari, Athanasia Amanda Septevani, dan Korri Elvanita El Khobar.
Kemudian di tahun 2020, giliran nama Adi Utarini dan Tri Mumpuni yang mendunia.
Adi Utarini memimpin uji coba teknologi yang mampu memberantas demam berdarah, namanya masuk daftar "Nature's 10: Ten People Who Helped Shape Science in 2020" versi jurnal ilmu pengetahuan Nature.
Sedangkan Tri Mumpuni, Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) masuk daftar The 500 Most Influential Muslims versi Royal Islamic Strategic Studies Centre dengan mengembangkan kemandirian masyarakat kawasan terpencil melalui pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).
Di tahun 2021, masih di ajang L'Oreal-UNESCO for Women in Science, empat perempuan Indonesia juga berjaya. Mereka adalah Febty Febriani, Fransiska Krismastuti, Magdalena Lenny Situmorang, dan Peni Ahmadi.
Nama para ilmuwan itu membahana di jagat sains dan teknologi meski tidak terpublikasi luas di dunia maya seperti para selebritis yang berkali-kali menjadi headline di media. Mereka membuktikan bahwa prestasi bisa diraih tanpa gembar-gembor, tanpa mengeksploitasi kemolekan fisik, dan tanpa menghalalkan segala cara.
Kita semestinya belajar dari mereka tentang bagaimana menghasilkan hal yang bermanfaat bagi umat manusia dengan mengandalkan kecerdasan dan kekuatan diri mereka. Juga bagaimana mereka mensyukuri karunia Allah berupa akal pikiran dan memanfaatkan untuk kemajuan manusia.
Itulah hakikat dari persamaan dan keadilan yang dituntut perempuan, bahwa perempuan tak kalah hebat dari laki-laki.
Sayangnya, banyak di antara perempuan yang memilih memamerkan 'kehebatan' dalam bentuk fisik yang tidak dimiliki laki-laki. Dengan dalih hak asasi dan kebebasan berekspresi, perempuan tak keberatan mengumbar kecantikan wajah dan kemolekan tubuh, karena merasa dengan modal itulah ia bisa menguasai dunia (baca: laki-laki).
Bukan berarti perempuan tak boleh cantik, tapi akan lebih bermartabat menyempurnakan kecantikan lahiriah dengan kecantikan batiniah yang terpancar lewat tutur kata dan tindakan yang berpijak pada kebenaran.
Bukan berarti perempuan tak boleh terlihat memukau, tapi jauh lebih mengesankan untuk menjadi 'berharga' dengan memelihara kemuliaan diri di hadapan orang lain.
Bukan berarti perempuan tak boleh mengejar karier, tapi akan lebih mulia bila tidak menghalalkan segala cara demi mengejar gelimang harta dan popularitas.
KOMENTAR ANDA