Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PEMBACA acara sudah mempersilahkan pak tua tersebut maju ke podium utama. Dia pun mulai berjalan tertatih-tatih. Tetapi terdengar suara mengelegar, “Hentikan! Dia tidak berhak menyampaikan kata sambutan.”

Ratusan pasang mata mengalihkan pandangan kepada seorang lelaki ubanan yang ternyata masih sangar suaranya. Dia menyebut dirinyalah yang sah sebagai pimpinan lembaga adat di daerah itu.

Maka dengan percaya diri pak uban pun maju menyampaikan untaian sambutan.

Hadirin tidak melarangnya, tetapi tidak pula menghormatinya. Orang-orang sibuk mengobrol, ada juga yang sambil baca koran, sebagian lagi membelakanginya. Bapak ubanan itu bagai terhempas ke jurang kehinaan, justru derajatnya yang dijatuhkan oleh khalayak. Begitulah cara publik memberikan hukuman sosial.

Ada lagi kisah lain di level terbawah masyarakat:

Pak tua itu tak berkutik tanpa daya. Jabatan ketua RT (Rukun Tetangga) miliknya dikudeta oleh tetangganya sendiri, seseorang yang masih muda enerjik. Alasan kudeta di level RT itu karena pejabat lama sudah tua dan tak bisa lagi diharapkan membuat gebrakan.

Dahulu ketua RT lama pandai mengajak warga berjaga malam. Kini ketua RT baru itu terpaksa ronda sendirian. Masyarakat kompak mengabaikan seruannya. Derajatnya bukannya naik tetapi malah dihempaskan.

Menjelang Ramadhan, ketua RT baru menyerukan acara papajar (tradisi makan-makan sebelum bulan suci). Acara tahunan yang rutin digelar selama bertahun-tahun itu tidak ada lagi. Pada hari yang ditentukan, tidak seorang pun warga yang sudi hadir.

Memang sengaja dipaparkan kisah-kisah kecil saja terkait derajat, karena di level atas kecamuk yang dihasilkannya tergolong dahsyat. Jangankan perkelahian bahkan pertempuran pun bisa meletus akibat mempertahankan derajat. Karena ini tergolong perkara kehormatan diri, maka lumrahlah kalau manusia mati-matian menjaganya.

Ada sedikit yang ganjil dari meriahnya Fathul Makkah (pembebasan kota Mekah). Keganjilan itu terasa ketika kaum musyrikin dilanda ketakutan dalam ketidakberdayaan. Sebagai pihak yang kalah total meski tanpa peperangan, musyrikin Mekah ngeri membayangkan balas dendam yang akan ditimpakan, sebagai pembalasan akibat kekejaman mereka terdahulu kepada Nabi Muhammad dan kaum muslimin.

Ternyata oh ternyata, Rasulullah memberikan amnesti umum, melalui perkataan beliau, “Antum thulaqa’! Kalian bebas!”

Nah, ganjilnya dimana?

Begini!

Imam al-Mawardi dalam bukunya Ahkam Sulthaniyah (2016: 287) menerangkan, Imam Syafi'i berpendapat bahwa Rasulullah memasuki kota Mekah melalui jalan damai. Saat itu, beliau membuat kontrak perdamaian dengan Abu Sufyan. Termasuk isi dari kontrak perdamaian tersebut adalah sebagai berikut. “Siapa menutup pintu rumahnya maka ia aman. Siapa bergantung pada kiswah (kain penutup) Ka'bah maka ia aman. Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan ia aman.”

Lha, apa pentingnya bibir suci beliau menyebutkan rumah Abu Sufyan, tokoh Quraisy yang merupakan musuh besar dakwah Islam?

Ucapan itu adalah bentuk penghargaan terhadap pihak yang kalah. Walau bagaimana pun jua Abu Sufyan adalah pembesar Quraisy. Dan derajat pemimpin mereka tetap dipelihara. Beliau tidak menghinakan atau menjatuhkan derajat musuhnya.

Di sinilah terlihat keindahan Islam, dimana musuh besar pun diangkat derajatnya. Sehingga Fathul Makkah yang spektakuler itu menjadi kemenangan bersama, bagi semua kalangan, tanpa satu pun yang terhina. Konsep yang bermartabat ini pula yang membuat musuh-musuh Islam malah berbondong-bondong menjadi muslim.

Intinya, kalau ingin meninggikan bendera kejayaan kita bukanlah dengan cara menumbangkan bendera orang lain. Kejayaan yang kita raih akan terasa gempitanya bersama menaikkan derajat pihak lain.

Lalu bagaimana caranya meninggikan derajat diri?

Al-Mujadilah ayat 11, yang artinya, “Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Pertama, iman

Iman itu pertanda keyakinan yang teramat kokoh menancap di lubuk hati. Siapapun dapat membuktikan betapa orang beriman itu punya kharisma yang menakjubkan. Kehadirannya disertai derajat tinggi yang merupakan anugerah Ilahi. Kita tidak perlu repot-repot memikirkan perkara derajat selagi iman masih kokoh di hati.

Kedua, ilmu

Ilmu jelas meninggikan derajat. Manusia berilmu memiliki posisi yang teratas. Karena mereka yang berilmu itu dibutuhkan oleh masyarakat dalam memajukan kehidupan. Ilmu itu tinggi, dan meninggikan derajat siapa pun yang meraihnya. Semakin bertambah ilmu maka kian berdampak positif bagi derajat diri.     
        




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur