Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

INI artinya sudah tiga kali Ramadhan lelaki itu tidak melaksanakan iktikaf. Tahun-tahun sebelumnya, ia rutin iktikaf satu bulan Ramadhan tanpa jeda sehari pun. Dia sengaja menyediakan satu bulan suci dalam setahun untuk taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah. 

Dari berbagai kendala, yang paling menjadi sandungannya ialah pandemi. Virus itu mengancam jiwa, dan membuat berbagai ibadah pun terhambat. Ya, mau bagaimana lagi, sudah begini keadaannya.

Ngomong-ngomong, apa sih yang membuat lelaki itu demikian mencintai ibadah iktikaf?

Dengan beriktikaf itu dirinya menyepikan diri di rumah Tuhan, dan membebaskan hatinya dari berbagai urusan keduniaan. “Oh, nikmatnya tiada terkira!” ujarnya.

Namun, kini pandemi sudah lumayan mereda, penyebaran virus tidak lagi seganas dahulu kala. Maka terbersit di hati lelaki tersebut untuk kembali beriktikaf.

Memang sih iktikaf bukanlah amalan wajib, akan tetapi Rasulullah menunaikannya dengan penuh semangat, bahkan turut mengajak keluarganya. Wajar dong bila kemudian umat Nabi Muhammad termotivasi pula beriktikaf.

Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum (2020: 288), dari Aisyah radhiyallahu 'anha, “Bahwa Nabi saw. beriktikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. (Beliau melakukannya) hingga wafat. Setelah itu istri-istri beliau pun melakukannya.” (Muttafaq 'alaih)

Iktikaf tergolong ibadah yang mendalam kesannya, yang tidak akan dipahami kecuali bagi yang pernah mengalaminya. Orang tidak akan paham dahsyatnya cinta, bila tidak pernah jatuh cinta. Demikian pula dengan dahsyatnya ibadah iktikaf, suatu kenikmatan batin tiada terkira yang hanya dirasakan saat kita menyendiri di rumah Tuhan, saat mendekatkan hati kepada Allah.

Nabi Muhammad telah tiada menghadap Penciptanya. Rasulullah tidak mungkin lagi beriktikaf. Akan tetapi istri-istri beliau tetap merawat dengan baik amalan iktikaf itu. Bahkan para ummul mukminin tersebut mengenang dengan manis tata cara beliau beriktikaf.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Apabila Rasulullah saw. hendak beriktikaf, beliau shalat Subuh terlebih dahulu kemudian masuk tempat iktikaf.” (muttafaq 'alaih)

Sang suami memulai iktikaf dalam kondisi segar, sejak pagi-pagi sekali yang mana alam semesta sedang memancarkan kesejukannya. Demikian detailnya ingatan terindah itulah yang membuat ibadah iktikaf tetap mereka lestarikan.

Dan oleh sebab itulah kita umat Nabi Muhammad juga terpanggil untuk turut mereguk samudra cinta Ilahi dalam iktikaf nan syahdu.

Apakah mungkin melaksanakan iktikaf di masa pandemi begini? Kalau pertanyaannya mungkin, ya jawabannya mungkin-mungkin saja, karena peluang itu selalu ada.

Lagi pula manusia ini kan makhluk yang cerdas. Sekeras apapun halangan dan rintangan, dengan kecemerlangan akal budinya manusia tetap mampu mencapai tujuannya. Tak terkecuali iktikaf yang begini indahnya, bukankah kita dapat mengupayakan agar tercapai kesan yang mendalam darinya?

Hanya saja berhubung virus Covid-19 masih saja menjalar kemana-mana, maka dalam iktikaf perlu dipertimbangkan beberapa hal:

Pertama, pilih masjid dan mushala yang kondusif

Kalau bisa pilih rumah ibadah yang tidak ramai, jika perlu hanya kita sendirian saja di sana. Ada seorang pria muda yang rutin iktikaf, dan uniknya yang dipilihnya sebuah masjid kecil sepi sunyi dekat dari pemakaman.

Mengapa? Katanya ibadah pun terasa lebih syahdu, sebab nyaris dia sendirian saja yang berada di sana. Kini, dalam situasi pandemi cara ini malah memberi keamanan yang lebih bagi orang yang iktikaf.

Tidak jarang peserta iktikaf di suatu masjid bisa lebih dari 1.000 jamaah dalam semalam. Situasi padat begini tentu kurang nyaman dalam beribadah dan juga berbahaya bagi penularan virus.

Kedua, tetap perhatikan protokol kesehatan

Sekalipun beriktikaf di masjid yang relatif sepi, tetap saja protokol kesehatan penting diperhatikan; termasuk itu menjaga jarak, mencuci tangan, mengenakan masker, membawa sajadah serta peralatan ibadah milik sendiri dan lain-lain.

Ibadah memang penting, tetapi menjaga keselamatan jiwa juga penting. Dari itu boleh dipilih masjid yang menyelenggarakan iktikaf dengan protokol kesehatan yang ketat. Karena tegaknya aturan protokol kesehatan itu semata-mata bertujuan demi kebaikan bersama juga.

Ketiga, menerima kenyataan dengan ikhlas

Apabila tahun ini tidak memungkinkan iktikaf, maka bersabarlah! Bukankah niat baik saja sudah diganjar pahala. Kita tidak boleh patah hati hanya karena pihak pengurus masjid meniadakan iktikaf dalam rangka kehati-hatian menghadapi pandemi yang belum kelar ini.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur