SEPERTI yang sudah-sudah, keramaian di penghujung Ramadhan seketika berpindah lokasi secara dramatis. Masjid musala mulai sepi, sedangkan pusat perbelanjaan penuh sesak. Meski tengah beribadah puasa, perjuangan tak kenal lelah tetap ditapaki di mal-mal modern hingga pasar-pasar tradisional. Pikiran umat melompat jauh ke depan seakan lebaran telah menjelang di pelupuk mata.
Perjuangan bersimbah peluh juga berkobar di dapur-dapur, bahkan kaum ibu sampai mengerahkan suami dan anak-anaknya. Lebaran bukan hanya perkara pakaian baru tetapi juga makanan minuman bercita rasa. Para istri memikirkan hantaran terbaik dan terhebat bagi mertuanya. Tiap keluarga rela berkorban besar demi menyajikan hidangan paling megah di Idul Fitri.
Dari haru-birunya orkestra menyambut lebaran, tidak terlihat lagi kecemasan terhadap pandemi, tidak terbayang lagi ketakutan akan parahnya ekonomi. Mendadak segalanya berlangsung dengan keindahan masing-masing. Tidak peduli tabungan dijebol atau sekalian utang digali lebih dalam lagi. Pokoknya, biar tekor asal kesohor!
Padahal, aksi biar tekor asal kesohor ini ibarat menebar banyak ranjau kehidupan. Tak jarang utang-utang lebaran tahun lalu belum lunas dan kini digali lagi utang lebih dalam lagi. Bagaimana pula dapat hati menjadi tenteram?
Prahara kehidupan itu terkadang diciptakan dan dinikmati oleh umat manusia itu sendiri. Setelah dua tahun tertahan akibat pandemi, kini ritual mudik bagaikan ledakan bom waktu. Kecemasan, kekhawatiran, bahkan ketakutan menyelimuti perjalanan mudik yang menuntut pengorbanan demikian besar di jalanan.
Saat lapar dahaga menunaikan ibadah puasa Ramadhan, pemudik mengharu-biru dengan kemacetan di jalan tol. Di lain sisi, fenomena itu menjelma berupa antrian dari pagi, lalu baru sore harinya bisa naik kapal di pelabuhan. Bagaimana membayangkan jerit tangis anak-anak dan kepayahannya orang yang sudah tua-tua?
Segala orkestra yang menyibukan itu berpadu dalam tradisi lebaran yang tercipta dan terlestarikan, demi menyemarakan hari kemenangan yang disebut Idul Fitri.
Apakah yang dihasilkan oleh segala kecamuk itu?
Silahkan menyimpulkan dengan nurani masing-masing.
Dan yang kita cermati ialah terganggunya ketenangan hati, malah kecemasan hingga kegalauan justru kian menebal jauh-jauh hari sebelum lebaran. Inikah yang dimaksud dari hakikat Idul Fitri?
Tidak ada salahnya sih mempersiapkan berbagai tradisi lebaran, akan tetapi yang dipersiapkan bukan hanya lahirah belaka, bukan cuma urusan perut saja. Hati kita juga butuh asupan gizi.
Janganlah terjebak dalam kegembiraan yang manipulatif; ketika tertawa riang di hari lebaran, sedangkan pikiran lagi kusut-kusutnya akibat persiapan lebaran yang menelan banyak korban lahir batin, bahkan mengorbankan kesyahduan Ramadhan itu sendiri.
Mengapa menjadi penting ketenteraman hati sehingga dijadikan modal utama hari raya?
Lalu apa bekal yang terbaik itu untuk Idul Fitri nan cemerlang?
Di antaranya yang perlu juga ditimang-timang secara matang ialah surat Ar-Ra’d ayat 28, yang artinya, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Hamka dalam bukunya Tafsir al-Azhar Jilid 5 (2020: 68) menerangkan, dan ingatan kepada Allah itu menimbulkan tenteram, dan dengan sendirinya hilanglah segala macam kegelisahan, pikiran kusut, putus asa, ketakutan, kecemasan, keragu-raguan dan duka cita. Ketenteraman hati adalah pokok kesehatan rohani dan jasmani. Ragu dan gelisah adalah pangkal segala penyakit. Orang lain kurang sekali dapat menolong orang yang meracun hatinya sendiri dengan kegelisahan.
Ramadhan ibarat bulan menabung, bukan uang yang ditabung melainkan kekayaan batin. Idul Fitri memang hari kemenangan. Akan tetapi kemenangan sejati itu jangan hanya berlangsung sehari saja. Setelah Idul Fitri pun kemenangan hakiki itu hendaknya terus berkibar sehingga kaum muslimin kian tangguh menjalani gelombang kehidupan berkat ketenteraman hatinya.
Masyarakat muslim Indonesia tergolong kreatif menciptakan berbagai tradisi yang menyemarakan Idul Fitri. Dan cukup banyak nilai positif yang dapat dipetik dari berbagai tradisi baik tersebut.
Hanya saja, kita memiliki hati nurani yang dapat dijadikan tempat bertanya. Hati dapat mengukur dan menimbang apakah yang tengah susah payah kita lakukan itu benar-benar yang terbaik dari yang baik.
Dan jangan lupa, Ramadhan ini, apakah benar-benar telah menghadirkan ketenangan di batin? Apabila sudah diperoleh, maka pertahankanlah itu, sebab setelah Idul Fitri jalan juang kita sesungguhnya masih panjang, dan boleh jadi makin terjal.
Ya Allah, limpahkanlah apa-apa yang dapat menenteramkan hati kami. Ya Allah, jadikanlah hati kami berlimpah kebahagian dalam hakikat kemenangan-Mu di Idul Fitri.
KOMENTAR ANDA