PRIA tegap itu tergelincir. Dia pun jatuh di kubangan bekas hujan semalam. Nyeri di pantat dapat ditahannya, tetapi malu tiada terkira yang teramat berat ditanggungnya.
Meski berkulit gelap, masih terlihat rona menghitam di mukanya, menggambarkan beban malu tiada terperikan. Maklum saja, adegan jatuh yang demikian indah justru berlangsung di hadapan gadis-gadis manis. Mereka tertawa dengan menutup mulut, tetapi cukup membuat pria itu bergegas pergi.
Sang ayah kemudian datang menasehati dengan baik, “Tidak bagus menertawakan orang yang terkena musibah. Mestinya kita tolong, bukannya dijadikan bahan lelucon.”
Syahdan, tersebutlah ulama yang amat disegani, tetapi dia pandai menjaga hati orang lain. Meski untuk sikap mulia itu, tidak masalah baginya dikira publik memiliki kekurangan diri.
Seorang perempuan muda sudah gemetaran bertemu langsung dengan ulama kharismatik yang dikaguminya. Kebetulan pula dia memang hendak berkonsultasi dengan pemuka agama itu.
Entah karena teramat grogi atau nasib lagi kurang mujur, tiba-tiba saja terdengar suara buang angin yang lumayan nyaring. Mukanya yang putih mulus terlihat pucat pasi menanggung malu. Ini menjadi musibah yang terberat dalam hidup perempuan malang tersebut.
Anehnya, ulama itu berulang-ulang kali meminta agar perempuan tersebut mengeraskan lagi suaranya. Akibatnya perempuan itu mengira ulama tersebut telah tuli, sehingga dirinya bicara teramat keras.
Akhirnya perempuan itu lega, dirinya tidak perlu malu sebab toh suara buang anginnya tidak akan terdengar oleh orang dengan gangguan pendengaran.
Ya, begitulah ulama tersebut rela pura-pura tuli untuk menyelamatkan harkat martabat perempuan yang tersebut. Alih-alih menertawakan, ulama itu berupaya keras supaya tamunya tidak menanggung malu, yang akan memukul mentalnya.
Siapa sangka bila Nabi Muhammad pun membahas hal yang dipandang kecil oleh sebagian pihak ini.
Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin (2015: 204) mengutip, selanjutnya beliau memberi nasihat kepada para sahabat tentang mentertawakan suara buang angin. Beliau bersabda, “Mengapa seorang dari kalian menertawakan sesuatu yang dia sendiri juga melakukannya.” (Muttafaq alaih)
Dalam perkara buang angin saja, yang bagi sebagian orang dipandang sepele, tetapi Rasulullah dengan tegas melarang kita menertawakannya. Ini perkara akhlak, dan Islam mengedepankan akhlak mulia dalam syiarnya.
Sejujurnya tidak ada orang yang suka ditertawakan, bahkan orang yang gemar menertawakan pun tidak menyukai kemalangan dirinya dijadikan olok-olokan. Karena ada hati yang tersakiti, ada perasaan yang terluka, ada mental yang terpukul. Meski itu hanya musibah kecil seperti tak sengaja buang angin, apalagi untuk musibah atau bencana yang jauh lebih besar, tentulah lebih terlarang lagi.
Wahbah az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 8 (2021: 123) menerangkan, hakim harus bersikap sama ketika memandang dan berbicara kepada kedua belah pihak. Dia tidak boleh bersikap tidak acuh terhadap salah satunya. Dia juga tidak boleh menertawakan salah satunya karena sikap seperti itu dapat menyakiti hati.
Mari kita cermati kutipan dari kitab hukum yang termasuk paling sering dijadikan rujukan bagi intelektual ini. Disana tertera peringatan tegas kepada hakim yang tidak boleh menertawakan terdakwa ataupun saksi. Meski dirinya berada dalam posisi penting yang akan menetapkan hukum, tetapi hakim tidak boleh menertawakan, karena hal demikian dapat menyakitkan hati.
Setinggi apapun posisi, sehebat apapun kedudukan, tetap saja yang namanya menertawakan tidak diperbolehkan. Jangan mengeksploitasi kemalangan orang lain, sekecil apapun itu.
Mengapa demikian detail? Sebab akhlak adalah yang utama. Kita tidak tahu, boleh jadi sedikit tawa kita telah meremukkan harapan hidup orang lain.
Intinya, boleh saja kita tertawa tetapi jangan pernah menertawakan. Karena disana terdapat penghinaan yang memedihkan.
Dalam hidup ini kita butuh hiburan, yang mana tidak ada yang gratis atau malah di antaranya berbayar mahal. Entah bagaimana ceritanya, kebutuhan akan hiburan itu beralih kepada menertawakan orang-orang yang lagi kemalangan.
Jamak terjadi, mungkin kita di antara pelakunya, ketika orang terjatuh dari kendaraan lalu ditertawakan berjamaah. Saat bisnis rekan bangkrut kemudian dijadikan lelucon. Tatkala seseorang kalah dalam pertandingan akhirnya dijadikan bahan ejekan.
Manusia memang suka tertawa, tetapi ingat menertawakan itu bukanlah sesuatu yang terpuji. Karena efeknya teramat buruk bagi korban. Bahkan perkara tertawa pun akan dimintai tanggung jawabnya di mahkamah akhirat. Waspadalah!
KOMENTAR ANDA