Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BERAPA banyak orang yang bisa secara tulus benar-benar memaafkan?

Di momen Lebaran misalnya, kalimat "mohon maaf lahir dan batin" bisa memenuhi layar chat room dan media sosial.  Namun maaf-memaafkan seyogyanya memang bukan hanya dilakukan saat Idul Fitri.

Pada suatu titik, seseorang akan bisa mengatakan "enough is enough" dalam makna yang positif.

Artinya, ia mampu melewati semua proses pembelajaran terkait bagaimana menerima dan merespons kejadian buruk, lalu kemudian melangkah maju dalam kondisi psikologis yang damai.

Namun untuk sampai pada titik itu, jalan yang ditempuh setiap orang tentu berbeda. Ada yang butuh waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Ada yang setiap hari semakin mendekati titik itu, ada pula yang bolak-balik terganggu dalam prosesnya hingga sangat sulit untuk bisa memaafkan dengan tulus.

Sayangnya, kita seringkali dihadapkan pada salah kaprah tentang memaafkan.

Menurut psikolog klinis sekaligus hipnoterapis Liza Marielly Djaprie, setidaknya ada 7 pendapat keliru yang harus diluruskan tentang memaafkan, agar kita bisa sampai kepada titik memberi maaf dengan tulus.

1# Keuntungan memaafkan hanya untuk orang yang menyakiti
Nyatanya, kita justru yang mendapat banyak keuntungan ketika bisa memaafkan. Kita tak perlu lagi membuang energi karena memikirkan orang lain. Kita juga akan merasa sangat lega saat 'beban' itu terangkat dari pikiran dan hati kita.

2# Memaafkan tak beda dengan 'letting go' atau 'move on'
Nyatanya, memaafkan adalah serangkaian proses panjang yang tak selalu berjalan mulus. Proses itu juga menghadirkan pemahaman, empati, juga kasih sayang.

3# Memaafkan berarti melupakan lalu rekonsiliasi
Nyatanya, TIDAK. Memaafkan tidak serta merta melupakan. Memaafkan juga bisa berarti mengingat dengan damai meskipun harus menyingkir dari orang atau situasi toxic yang menyakiti kita.

4# Memaafkan adalah sifat bawaan lahir
Nyatanya, sekalipun sejumlah orang dilahirkan dengan karakter mudah memaafkan dan lebih santai, segala hal yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah hasil latihan. Semakin sering kita berlatih untuk memaafkan, semakin ringan kita melakukannya.

5# Memaafkan menunjukkan kelemahan
Nyatanya, banyak penelitian psikologi dan sosial menyebutkan bahwa hanya individu yang memiliki kekuatan mental, ketangguhan, dan konsep diri baik yang mampu memaafkan.

6# Tujuan memaafkan adalah agar tak perlu mengingat lagi
Nyatanya, dalam proses memaafkan kita justru harus mengingat berbagai hal yang terjadi. Kita tak bisa memaafkan jika kita tidak mampu mengingat dan menentukan apa yang harus kita lepaskan.

7# Memaafkan adalah hal yang universal
Nyatanya, memaafkan adalah sebuah proses personal yang sangat subjektif. Setiap individu punya durasi dan tantangan masing-masing dalam proses memaafkan.

Setiap Kita Berproses

Dalam unggahan @lizadjaprie, Liza menulis: "we don't have to be the most forgiving person on earth."
Menurutnya, manusia masih mungkin untuk merasa kesal, merasa marah, dan mendendam.

Tapi selama kita mau berproses dalam kesal, marah, dan dendam tersebut sambil mengasah daya empati dan kemampuan untuk memandang segala hal dari perspektif berbeda, suatu saat kita akan tiba pada titik memaafkan dengan jujur.

"Karena mungkin kita baru bisa memaafkan dengan jujur saat kita sudah bisa jujur menerima kekesalan, kemarahan, dan dendam kita."




Masakan Mudah Gosong, Sudahkah Bunda Lakukan 6 Langkah Ini?

Sebelumnya

Tips Menikmati Akhir Pekan ‘Anti-Boring’ Bersama Keluarga

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Family