DI ANTARA ibu dan anak gadisnya terjadi perbedaan. Keduanya sama-sama selesai berwudu dan bersiap menunaikan shalat di masjid. Hanya saja mereka telah kembali mengenakan masker, maklum kan lagi masa pandemi.
Anak gadisnya berpendapat masker mestilah dilepas, karena gara-gara pakai masker hidung tidak akan menyentuh sajadah ketika melaksanakan sujud. Dia khawatir sujudnya nanti tidaklah sempurna.
Ibunya berpendapat tidak masalah shalat pakai masker, toh dahi akan menyentuh sajadah juga di waktu sujud. Lagi pula ini kan masa pandemi, sang ibu berpikir agama mendahulukan perlindungan nyawa. Lagi pula dalam perjalanan kali ini mereka terlupa membawa sajadah sendiri, makanya masker diharapkan membantu mereka menjaga dari tertular virus.
Apa yang terjadi berikutnya?
Sang ibu tetap menunaikan shalatnya dengan mengenakan masker. Dia punya pendirian tersendiri, dan dengan berbagai jenis penyakit yang bersarang di tubuhnya, sang ibu yakin Tuhan memaklumi upayanya dalam perlindungan diri.
Sementara anak gadis itu kembali ke mobil, dia mengambil sapu tangan miliknya yang tertinggal. Bukan! Bukanlah bertujuan mengelap keringat, tetapi hendak dijadikannya alas bersujud. Maka jadilah anak gadis itu menunaikan shalat dengan melepas maskernya.
Kejadian ini cukup menarik, dan makin menyedot perhatian karena berhubungan dengan masa pandemi yang belum ketahuan kemana ujungnya.
Titik perdebatan antara ibu dan anak itu terletak pada kesempurnaan melaksanakan sujud. Apakah sujud akan sah dengan mengenakan masker ya?
Ternyata jauh-jauh hari pada ulama telah mengupas hal ini, tanpa perlu menunggu masa pandemi. Dan terlebih dahulu perlu dipahami bagaimana bimbingan Rasulullah dalam pelaksanaan sujud.
Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam buku Al-Lu'lu' wal Marjan #1 (2013: 145) menerangkan, hadis Ibnu Abbas, dia berkata, “Nabi Muhammad diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota tubuh, yaitu dahi, dua tangan, dua lutut dan dua kaki, dan tidak menggelung rambut dan baju.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam pembahasan tata cara sujud, maka hadis inilah yang acap kali dijadikan rujukan atau kajian. Guna membantu kita dalam memahami hadis ini dapatlah kita merujuk kepada penjelasan ulama berikut ini.
Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm #1: Kitab Induk Fiqih Islam (2016: 266) mengungkapkan, Imam Syafi'i berkata, “Dan kesempurnaan kewajiban sujud serta sunahnya adalah sujud dengan dahinya, hidungnya, dua telapak tangannya, dua lututnya dan dua telapak kakinya. Kalau seseorang bersujud dengan dahinya tanpa hidungnya, maka saya nyatakan hal itu makruh. Tetapi sujudnya tetap sah, karena dahi adalah anggota sujud.”
Imam Syafi'i berkata, “Kalau dia bersujud dengan sebagian dahinya dan bukan seluruh dahinya, maka hal itu saya nyatakan makruh hukumnya. Meski dia tidak harus mengulang karena dia sudah bersujud dengan dahinya. Kalau dia bersujud dengan hidungnya tanpa dahinya, maka itu tidak sah karena dahinya yang menjadi anggota sujud. Dia bersujud dengan hidungnya -wallahu a'lam- karena ketersambungannya dan kedekatannya dengan dahi.”
Dengan demikian, apabila kita sujud dengan dahi dan hidung sekaligus maka itulah suatu kesempurnaan. Akan tetapi, menurut Imam Syafi’i tanpa hidng mengenai sajadah pun shalatnya tetap sah.
Nah, bagaimana dengan masker?
Pemakaian masker akan menutupi hidung, yang membuat sebagian pihak takut sujudnya tidak sempurna. Berdasarkan penjelasan terdahulu maka pemakaian masker tetap shalatnya sah.
Apalagi kini masih di masa pandemi yang tak kunjung kelar, maka penggunaan masker masih diperlukan dalam menjaga diri. Agama Islam tentunya mendahulukan perkara keselamatan ini.
Ternyata Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah membahas perkara shalat mengenakan masker ini. Sebagaimana dilansir pada situs resmi MUI, https://mui.or.id, Komisi Fatwa menekankan bahwa dalam konsisi darurat pandemi seperti sekarang ini, menggunakan masker yang menutup mulut dan hidung saat shalat hukumnya boleh dan shalatnya sah. Penggunaan masker memang saat ini diwajibkan saat di luar rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar bisa memutus rantai penularan Covid-19 di masyarakat.
Fatwa ini berbunyi bahwa setiap muslim wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang dapat menyebabkan terpaparnya penyakit, karena itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams). Setiap muslim wajib berpartisipasi dalam upaya memutus mata rantai peredaran Covid-19.
Kembali lagi kepada kisah pembuka, kok tega-teganya anak gadis berbeda dengan ibu kandungnya? Apakah tindakan si anak tergolong durhaka?
Nah! Nah! Nah!
Praduga macam beginilah yang bikin runyam. Perkara mau shalat pakai masker atau tidak sudah dijelaskan secara terang-benderang. Jadi tidak ada persoalan berarti di antara ibu dan putrinya. Shalat sang ibu tetap sah dan terpujilah dirinya yang mengenakan masker menjaga diri terpapar Covid-19.
Anak gadisnya juga sah shalatnya, dan sempurnalah sujudnya. Dan terpuji pula upayanya menghindari terpapar virus dengan mencari alternatif alas sajadah milik sendiri.
Dan poin terpenting adalah kesamaan yang indah antara anak dan ibunya, keduanya sama-sama menunaikan shalat. Kecuali ibunya shalat sementara anaknya malah menolak shalat tanpa halangan yang dibenarkan agama.
KOMENTAR ANDA