KUE-KUE lebaran masih ada, aroma Idul Fitri masih hangat terasa, bahkan nuansa Ramadhan masih syahdu. Namun, seorang ibu beserta tiga anak gadisnya lagi berunding alot, yang malah berujung kebimbangan. Pasalnya, ibu dan anak-anaknya tersebut ingin mengganti puasa Ramadhan yang terpaksa batal.
Ya maklumlah, sebagai perempuan normal, mereka didatangi tamu bulanan. Akibat haid di bulan Ramadhan, makanya terpaksalah puasa pun batal. Dan tentunya harus diganti, bukankah itu tergolong utang?
Tak disangka sang suami juga mengajukan diri, ingin turut serta bersegera mengganti puasanya, meski tentunya tidak disebabkan haid. Ternyata selama Ramadhan sang suami bertahan dengan asupan obat-obatan. Meski telah berjuang sekuat tenaga, pertahanan si bapak itu pun jebol juga, puasanya di bulan Ramadhan batal dua hari.
Kini mumpung masih di bulan Syawal, sekeluarga mereka ingin mengganti puasa, karena takutnya Ramadhan lalu menjadi tidak sempurna. Apalagi tidak ada yang tahu umur seseorang. Jangan sampai mati sebelum melunasi utang, begitulah kira-kira!
Si ibu ingat di tahun yang lalu, mereka mengganti puasa Ramadhan sudah teramat mepet menjelang bulan suci datang. Hampir saja mereka gagal mengganti puasa karena nyaris terlupa pula.
Terkait masalah ini, hal yang serupa juga melanda banyak umat Islam lainnya, terkhusus muslimah.
Qadha (mengganti) puasa Ramadhan sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Lantas bagaimana agama memandang persoalan begini?
Wahbah az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 3 (2021: 123) menerangkan, waktu untuk mengqadha puasa setelah habisnya bulan itu sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya.
Disunnahkan menyegerakan qadha, agar cepat bebas tanggungannya dan gugur kewajibannya. Wajib berazam untuk mengqadha setiap ibadah apabila dia tidak mengerjakannya dengan segera. Qadha harus dilaksanakan segera apabila jarak dari Ramadhan berikutnya tinggal sejumlah hari yang ketinggalan puasanya di Ramadhan berikutnya.
Tampaknya disini terlihat lebih cenderung pada semboyan, lebih cepat itu lebih baik. Menyegerakan melunasi hutang puasa Ramadhan tergolong disunnahkan, tak terlepas tujuannya agar kita dapat menjalani hidup dengan tenang. Oleh sebab itu, apabila tidak ada halangan dan terbentang pula peluang, maka bersegeralah!
Kendati demikian, jangan pula berpikir qadha puasa ini wajib disegerakan, karena statusnya disunnahkan segera.
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah (2017: 230) mengungkapkan, qadha Ramadhan tidak wajib dilakukan dengan segera, tapi wajib dilakukan kapan saja. Aisyah meriwayatkan bahwa ia melakukan qadha puasa Ramadhan yang telah berlalu. Ia tidak melakukannya segera setelah Ramadhan berlalu padahal ia mampu melakukannya.
Dengan begitu kita tidak boleh mendesak siapapun, apalagi beralasan menyegerakan qadha puasanya dengan segera. Qadha puasa memang wajib, tetapi waktunya terserah yang bersangkutan. Namun, jika dirinya bersegera mengganti puasanya, maka orang itu telah mendapatkan keutamaan.
Kemudian, masih terkait dengan qadha puasa, muncul pertanyaan, apakah mengganti puasa harus berturut-turut? Misalnya, batal puasa lima hari selama masa haid, apakah mengqadhanya juga lima hari secara berurutan?
Ini pertanyaan bagus!
Wahbah az-Zuhaili menguraikan, mayoritas fuqaha sepakat bahwa disunnahkan menunaikan qadha secara berturut-turut (berkelanjutan). Akan tetapi, qadha puasa Ramadhan tidak disyaratkan harus berturut-turut maupun segera. Terserah orangnya mau melaksanakannya secara terpisah-pisah atau berturut-turut, sebab nash Al-Qur'an yang mewajibkan qadha bersifat mutlak (tanpa menyebutkan syarat/kriteria tertentu).
Kecuali jika bulan Sya'ban tahun berikutnya hanya tersisa sejumlah hari yang hanya cukup untuk menjalani qadha, maka qadha harus dilaksanakan secara berturut-turut, sebab waktunya sempit.
Para ulama yang berpendapat demikian berlandaskan dalil, pada surat al-Baqarah ayat 185, yang artinya, “Maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Pada ayat di atas tidak ada perintah yang menyuruh ganti puasa itu secara berurutan, karena yang diwajibkan hanyalah menggantinya saja.
Lebih lanjut Sayyid Sabiq menerangkan, mengganti puasa sama seperti melaksanakannya pada waktunya. Ibnu Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersabda tentang qadha Ramadhan. Jika ia (orang yang meninggalkan puasa) ingin, hendaklah ia menggantinya secara tidak beruntun; dan jika ia ingin, hendaklah ia menggantinya secara beruntun.”
Demikianlah agama Islam memberikan kemudahan dan keutamaan dalam mengganti puasa Ramadhan. Terserah bagaimana umatnya memanfaatkan segenap peluang tersebut. Dan suatu yang jelas utang puasa mestilah dilunasi.
KOMENTAR ANDA