“POKOKNYA saya tidak nyaman,” ucap perempuan itu dengan air muka mengeras.
Seketika percakapan pun terhenti, dan tema tersebut tidak pernah dibahas-bahas lagi. Hati perempuan itu telah membatu. Apa duduk perkaranya?
Perempuan itu mengalami gangguan penyakit di rahimnya, dokter pernah menganjurkan operasi tetapi perempuan tersebut menolak dan gigih menempuh jalur pengobatan alternatif. Akibat penyakit tersebut, dirinya pun sering mengalami pendarahan panjang, dalam sebulan hanya beberapa hari saja dirinya yang tidak berdarah.
Kondisi begini telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dan persoalannya, selama masa pendarahan yang berkepanjangan itu, dia sama sekali tidak menunaikan ibadah shalat. Sahabatnya yang lumayan memiliki ilmu agama menasehati baik-baik, perempuan itu tetap diwajibkan shalat karena yang dialaminya bukan darah haid atau nifas, melainkan darah istihadhah (darah yang di luar kebiasaan normal).
Namun, perempuan itu menolak, sebab menurut penasehat spiritualnya tidak perlu shalat selama pendarahan terjadi. Beberapa dalil agama pun dikemukakan oleh temannya itu agar lebih dipahami perspektif agama. Akhirnya, keluarlah perkataan tegas pembuka di atas dari perempuan tersebut yang memutus percakapan.
Dalam urusan hukum agama, rujukan kita bukanlah penasehat spiritual, melainkan Allah dan Rasulullah, yang dapat diketahui petunjuk-Nya maupun arahannya dari Al-Qur’an dan hadis. Boleh saja berpegang dengan fatwa ulama tetapi tentunya yang merujuk kepada dalil-dalil agama yang kuat dasarnya, bukan berdasarkan argumentasi apalagi kepentingan pribadinya.
Nah, selain mengalami haid atau nifas, maka dari kemaluannya perempuan juga mengalami yang disebut darah istihadhah, atau yang bagi sebagian pihak disebut darah penyakit. Namun, pada intinya istihadhah merupakan jenis darah yang di luar kenormalan, yang tidak digolongkan hadi ataupun nifas.
Sampai-sampai Al-Qur’an hingga hadis-hadis membahas perkara haid dan jenis darah lainnya, menunjukkan besarnya perhatian dan kasih sayang Islam terhadap perempuan. Dan yang menakjubkan, ada perempuan yang tidak sungkan bertanya langsung perihal ini kepada Rasulullah saw.
Perlu dipahami darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang bukan tergolong darah haid, maka darah istihadhah itu merupakan kejadian lumrah saja. Perempuan yang mengalaminya tidak perlu grogi sebagaimana Ummu Salamah tidak risih menanyakan kepada nabi junjungan umat.
Muhammad Shidiq Hasan Khan pada Ensiklopedia Hadis Sahih (2009: 203) menerangkan, Ummu Salamah meriwayatkan bahwa pada masa Rasulullah saw. ada seorang wanita mengalami pendarahan. Ummu Salamah meminta fatwa tentang hal itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Ia harus mengetahui jumlah hari haidnya dalam satu bulan sebelum mengalami pendarahan. Kemudian, ia harus meninggalkan shalat selama masa haid dalam satu bulan tersebut. Jika masih berdarah, hendaknya ia membalut kemaluannya dengan pakaian, lalu shalat seperti biasa.” (HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Ternyata darah istihadhah ini berbeda kondisinya dan dampaknya. Sehingga memunculkan pertanyaan: Bagaimana menunaikan shalat? Bagaimana dengan hubungan seks? Bagaimana membedakannya? Bagaimana menyucikannya?
Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam buku Fikih Wanita Empat Mazhab (2017: 70-72) menguraikan, beberapa prinsip dasar sebagai pembeda bagi wanita yang mengalami istihadhah:
1. Melihat kebiasaan lamanya masa haid di bulan-bulan sebelumnya.
Contohnya, seorang wanita melihat keluarnya darah haid 6 hari, maka jika terus mengeluarkan darah, berarti yang dianggap masa haidnya adalah selama 6 hari, sisanya dianggap istihadhah.
2. Membedakan ciri-ciri darahnya.
Fathimah binti Abu Hubaisy pernah mengalami istihadhah, lalu Nabi Muhammad saw. bersabda kepadanya, “Jika darah tersebut adalah darah haid, maka warnanya adalah kehitam-hitaman sebagaimana telah diketahui. Jika ciri darahnya seperti itu maka tinggalkanlah shalat. Namun, jika cirinya lain maka berwudhulah lalu kerjakanlah shalat; sebab darah tersebut tiada lain darah yang keluar dari urat (lantaran adanya gangguan).” (HR. Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban dan Hakim)
3. Merujuk kepada kebiasaan masa haid.
Wanita yang tidak ingat lagi akan kebiasaan masa haidnya dan tak bisa membedakan antara darah haid dan darah istihadhah. Karenanya wajib bagi keduanya untuk merujuk kepada kebiasaan haid para wanita umumnya, yakni 6 atau 7 hari.
Kendati mengalami darah istihadhah, itu bukan berarti perempuan tengah mengalami hadas besar. Perempuan yang sedang istihadhah tetap dihitung suci, tetapi dia tetap memperhatikan beberapa perkara yang menyangkut dirinya.
Ibnu Abdullah dalam bukunya Fiqih Thaharah Panduan Praktis Bersuci (2018: 106) menguraikan:
A. Bagi wanita yang menjalani istihadhah, setiap hendak melaksanakan shalat wajib melakukan wudhu. Hal ini tidak berlaku bagi wanita suci yang tidak mengalami istihadhah. Bagi wanita biasa, satu wudhu boleh digunakan untuk melaksanakan dua shalat atau lebih selagi tidak berhadas. Namun, bagi wanita istihadhah satu kali wudhu hanya untuk satu kali shalat, walaupun ketika memasuki waktu shalat lain dia tidak batal dari wudhunya.
B. Seorang wanita yang sedang istihadhah jika hendak berwudhu untuk melaksanakan shalat, terlebih dahulu dia harus membersihkan darahnya. Setelah itu, untuk menjaga kebersihan dan kesucian dia harus membalut alat kelaminnya dengan kain atau kapas (atau pembalut khusus wanita) untuk menahan agar darah tidak sampai keluar hingga mengenai pakaian.
C. Seorang wanita yang istihadhah masih diperbolehkan untuk digauli oleh sang suami, sebab istihadhah bukanlah gejala alamiah yang menyebabkan seorang wanita menanggung hadas besar. Penjelasan di atas telah mencakup keterangan tentang beberapa hal yang sering membingungkan bagi perempuan istihadahah, baik itu urusan mengerjakan shalat sampai soal hubungan suami istri, semuanya tuntas diterangkan. Pembahasan ini hendaknya menjadi titik terang bagi para muslimah agar menjalani kehidupan beragama yang tenang.
KOMENTAR ANDA