KEHIDUPAN di desa memberikan kesan mendalam bagi pertumbuhan Nabi Muhammad. Lingkungan desa menyegarkan dirinya dengan udara yang bersih.
Halimah memberinya ASI yang murni. Beliau menikmati susu segar domba dan unta. Begitu pun dengan asupan buah-buahan yang manis. Dari itu pula pertumbuhan putra Aminah itu pun menjadi luar biasa, melebihi anak-anak lainnya.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw. Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits Shahih (2011: 229) mengungkapkan, putra Aminah yang disusukan Halimah pun beranjak tumbuh sehat. Tidak seperti pertumbuhan bayi-bayi lainnya, dalam usia sembilan bulan ia telah dapat berbicara dengan fasih, dia tidak rewel atau berteriak dan tidak juga menangis, kecuali kalau dia tidak mengenakan pakaian karena malu dilihat orang.
Kata Halimah, “Jika di malam hari dia gelisah, aku membawanya keluar kemah dan dia pun tenang kembali setelah memandang bintang-bintang di langit, lalu tak lama kemudian ia menutup matanya tertidur nyenyak.”
Demikian indahnya masa kecil Nabi Muhammad, yang berkat pengasuhan sepenuh cinta Halimah. Tidak ada kejadian buruk yang mencelakai bocah mulia tersebut. Kepribadian Nabi Muhammad tumbuh dengan baik berkat dukungan lingkungan yang asri.
Dan kehidupan di desa pula yang menempa kemampuan berbahasa beliau yang indah tutur katanya, yang mana kemampuan itu amat mendukung perannya kelak sebagai nabi menyeru umat.
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam bukunya My Beloved Prophet Teladan Sepanjang Zaman (2008: 80) menguraikan, penyusuan Muhammad kecil di perkampungan Bani Sa'ad adalah tradisi yang biasa terjadi di kalangan para pemuka Quraisy. Mereka terbiasa menitipkan anak-anak mereka di dusun dan perkampungan untuk disusui agar tumbuh sehat, fasih berbahasa, dan menjadi pemberani.
Rasulullah saw. pernah bersabda dengan membanggakan kehormatan asal-usul, dan bahwa beliau pernah disusui di pedusunan, “Aku adalah orang yang paling baik dalam berbahasa Arab dari kalian, aku adalah orang Quraisy, dan aku pernah disusui di perkampungan Bani Sa’ad ibn Bakar.”
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, penyusuan Nabi Muhammad berlangsung sekitar dua tahun saja, sesuai dengan masa penyusuan yang sempurna bagi bayi. Dan beliau pun sudah saatnya dikembalikan kepada ibunda kandungnya, Aminah.
Dan betapa berat terasa bagi Halimah berpisah dengan si kecil Nabi Muhammad yang teramat dicintainya, yang menjadi bagian dari hatinya. Namun, Halimah pun menyadari lebih berat lagi bagi Aminah berpisah demikian lama dengan anak yang dilahirkannya. Apa mau dikata, perjanjian mestilah dipatuhi.
Tatkala tiba di Mekah, penduduk kota itu tengah dilanda keresahan akibat wabah penyakit yang merajalela. Halimah mencemaskan keselamatan Nabi Muhammad yang telah dipandang sebagai anaknya sendiri.
Justru kecemasan itu pula yang membuka peluang baginya mendapatkan jalan menyongsong harapan. Ketika itu pula Halimah memperoleh alasan agar Aminah merelakan putranya dengan tambahan waktu pengasuhan.
Lagi pula Nabi Muhammad bukanlah beban bagi mereka, melainkan seorang bocah yang mencurahkan keberkahan langit. Tetapi, apakah Aminah akan merelakan dirinya berpisah lagi dengan darah dagingnya sendiri?
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam buku Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah (2016: 68) menceritakan, Halimah sekeluarga terus mencatat segala kebaikan dan tambahan yang Allah berikan itu hingga dua tahun lamanya. Muhammad kecil tumbuh jauh melampaui anak seusianya. Belum genap dua tahun, dia telah menjadi anak yang kuat dan gagah.
Setelah masa penyusuan usai, Halimah menemui Aminah dan memohon agar dia sudi membiarkan Muhammad tetap tinggal bersama mereka karena mereka yakin bahwa anak ini membawa berkah.
Mereka berkata, “Bagaimana seandainya anak itu tetap kami asuh sampai besar? Kami khawatir dia terkena wabah penyakit yang melanda Mekah.” Mereka terus membujuk Aminah sampai bersedia melepas Muhammad kembali.
Tentunya Aminah terlebih dahulu membuat pertimbangan matang terkait keselamatan putranya. Wabah penyakit yang tengah merajalela di kota Mekah akan amat membahayakan anak-anak. Sementara itu sang ibunda menyaksikan anaknya tumbuh menjadi bocah yang sehat. Pertumbuhan si kecil Nabi Muhammad juga baik, pertanda Halimah sekeluarga mengasuh dengan sepenuh cinta.
Halimah pulang ke desanya Bani Sa’ad dengan wajah diliputi suka cita. Bocah yang telah melimpahi keluarganya dengan curahan keberkahan itu diperbolehkan turut serta kembali bersamanya. Tidak terlukiskan kebahagiaan yang meliputi hati Halimah dan keluarganya, karena Nabi Muhammad sudah seperti anak kandung baginya.
Dan masa kecil Nabi Muhammad makin lengkap dengan kehadiran kakak perempuan. Halimah mempunyai putri cantik bernama Syaima binti Harits, yang kemudian hari turut berperan besar dalam pengasuhan Nabi Muhammad.
Ahmad Khalil Jam’ah dalam bukunya 70 Tokoh Wanita dalam Kehidupan Rasulullah (2004: 365-367) menceritakan:
Rasulullah suka keluar rumah dengan anak-anak Halimah, yaitu Abdullah dan Anisa. Mereka bermain-main menuju lapangan penggembalaan. Kak Syaima yang mengasuh dan mengawasinya. Bahkan dia yang menggendong Nabi Muhammad, jika cuaca sangat panas dan perjalanan sangat jauh.
Terkadang Syaima membiarkan Rasulullah cilik berlarian kesana-kemari, lalu menangkapnya dengan kedua tangannya dan mendekapnya. Terkadang mereka duduk berdua di bawah rindangnya pepohonan. Syaima pun berdendang:
Wahai Tuhan kami, biarkan Muhammad bersama kami hingga aku melihatnya telah menjadi remaja dan beranjak dewasa.
Kemudian, aku menyaksikannya telah menjadi tuan terhormat.
Hancurkan musuh-musuhnya bersama para pendengkinya.
Berilah ia keperkasaan yang diabadikan.
Abu Urwah Al-Uzdi terkesan dengan dendangan itu dan mengatakan, “Alangkah indahnya, bagaimana Tuhan mengabulkan doanya.”
Ibu-ibu memang suka mendendangkan lagu bagi anak-anak mereka. Lain halnya dengan Syaima yang bukan hanya mengandalkan suara yang merdu, tetapi mempersembahkan doa di dalam bait-bait liriknya.
KOMENTAR ANDA