DUKA dan kesulitan kita, perlukah orang banyak mengetahuinya?
Ahli fikih, ahli tafsir, sekaligus sejarawan dan pendakwah Ibnu Jauzi berkata, "Menyembunyikan kesulitan-kesulitan itu adalah termasuk menutupi rahasia. Karena dengan menampakkannya akan membuat senang orang yang membenci dan akan membuat sedih orang-orang yang mencintai."
Kalimat itu terpampang nyata kebenarannya.
Kita tak bisa menjamin semua orang senang dengan keberhasilan yang kita raih. Dan tak semua orang bersuka cita saat kita sukses.
Selaras dengan itu, ada banyak orang yang gembira melihat kegagalan kita. Dan ada banyak orang pula yang terpingkal-pingkal melihat kita terpuruk.
Karena itulah, tak ada untungnya kita berteriak tentang kesulitan yang kita hadapi.
Memang ada orang yang bersimpati dan berempati, tapi hanya sebatas itu. Sementara yang lainnya mempertanyakan mengapa kita mesti membongkar aib diri sendiri, dan tak sedikit pula yang menertawakan kesusahan kita.
Sedangkan jika kita mau menyimpan rapat kesulitan kita, jika akhirnya pun ada yang tahu, mereka akan salut pada perjuangan kita menyelesaikannya. Mereka memandang kita sebagai pribadi mandiri, kuat, dan mampu menjaga kehormatan diri.
Dalam menghadapi kesulitan hidup, kita bisa berpikir sendiri untuk menemukan solusinya lalu bertindak untuk menyelesaikannya. Namun jika kita tidak mampu menghadapinya seorang diri, sah-sah saja jika kita meminta bantuan orang lain.
Tapi bukan berarti kita menyebarkan kesulitan kita ke sana ke sini seolah menjadi "manusia paling menyedihkan di muka bumi" yang harus dikasihani.
Meski demikian, pada akhirnya kita akan menyadari bahwa haters will be haters. Orang yang pada dasarnya sudah memiliki kebencian terhadap kita sudah pasti akan tertawa saat kita susah dan menangis kala kita bahagia. Karena itu tak perlulah kita memamerkan kesulitan di hadapan orang lain.
Setelah kita belajar untuk menyembunyikan kesulitan, kita juga mesti belajar untuk menyampaikan kabar gembira.
Islam sangat menganjurkan umatnya untuk tak pelit berbagi kabar gembira. Namun tentu saja konteksnya bukan memamerkan keberhasilan atau kesuksesan.
Membagikan kabar gembira merupakan salah satu hal yang dilakukan para nabi dan rasul. Hal itu terkait dengan tugas yang mereka emban sebagai penyampai risalah dan kabar gembira yang bersumber dari Allah Swt.
"Mereka Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul tersebut. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. An-Nisa: 165)
Dalam kehidupan Nabi Muhammad saw., kabar gembira pernah diterima orang-orang terdekat beliau. Misalnya saat Siti Khadijah mendapatkan kabar gembira bahwa ia mendapatkan hadiah rumah di surga.
Tak ketinggalan Abu Bakar Ash-Shidiq, Bilal bin Rabah, dan Ali bin Abi Thalib juga pernah menerima kabar bahagia yang disampaikan oleh Rasulullah.
Ensiklopedia Akhlak Muhammad karya Mahmud Al Mishri menyebutkan bahwa membiasakan diri untuk menyampaikan berita gembira bagi orang lain adalah salah satu tanda kesempurnaan iman.
Penyebabnya tak lain karena berita gembira memunculkan kebahagiaan bagi Muslim yang mendengarnya.
Sebuah kabar gembira dapat membuat orang yang mendengarnya bahagia, berlapang dada, tenang, dan bersemangat untuk menyongsong hari baru.
Jelaslah bahwa kabar gembira yang harus disebarkan dalam Islam adalah kabar yang menjadi maslahat bagi banyak orang atau bermanfaat bagi orang lain, bukan kabar yang isinya hanya menggembar-gemborkan keberhasilan atau prestasi yang kita torehkan.
Maka jika kita tak punya kabar gembira untuk disampaikan, akan jauh lebih mulia untuk menyembunyikan kesulitan kita. Diamlah, sembunyikanlah keluh kesah, dan mintalah pertolongan Allah.
KOMENTAR ANDA