KOMENTAR

BETAPA hari-hari Aminah dihiasi pelangi senyuman, apalagi sebab musababnya kalau bukan kehadiran putra terkasih. Seorang anak bagus rupa sedap dipandang mata, cemerlang akalnya dan mulia akhlaknya telah memberi kesejukan di hati Aminah. Nabi Muhammad pun melanjutkan masa kecil yang syahdu dalam dekapan cinta sang ibunda.  

Dan Aminah pun merasa sudah tiba waktunya Nabi Muhammad saw. diperkenalkan dengan ayahandanya. Tentu hanya dengan cara menziarahi pekuburannya di Madinah (Yatsrib nama dahulunya), sekaligus berkenalan dengan karib kerabat disana. Kebetulan pula ibunda dari Abdul Muthalib berasal dari Madinah, dengan demikian perjalanan itu akan menjadi ajang silaturahmi.

Niat yang teramat mulia tersebut tidak mudah diwujudkan, karena jarak Mekah ke Madinah itu teramat jauh. Belum lagi mereka akan menghadapi beratnya lautan padang pasir yang harus ditempuh, yang mengintai bersamanya panas gurun yang membara, ancaman binatang-binatang liar, ataupun intaian para penyamun atau penjahat dan lain-lain. Dan selama menghadapi seluruh tantangan itu, Aminah akan membawa serta putranya yang berusia sekitar 6 tahun.

Apakah sang ibunda akan mengurungkan niatnya?

Ternyata tidak!

Demi mempertimbangkan faktor keamanan, Aminah pergi dengan turut menyertai kafilah dagang yang berangkat dari Mekah menuju Syam, yang melewati Madinah. Turut serta bersama ibu dan anak itu seorang pelayan bernama Barakah atau Ummu Aiman. Mereka menunggangi dua ekor unta dan dimulailah perjalanan yang mengharukan. Membajanya tekad Aminah mengarungi perjalanan berat itu seolah menjadi pertanda dari firasat terdalam dari seorang ibu untuk anaknya.

Atas lindungan Allah Swt. Aminah beserta putranya tiba di Madinah dengan selamat, dan mendapatkam sambutan kegembiraan dari karib kerabat di Bani Adiy bin Najjar. Mereka menyiapkan tempat tinggal terbaik untuk ibu dan anak tersebut di rumah An-Nabighah.

Sanak keluarga di Madinah tidak membolehkan Aminah dan putranya hanya sebentar saja disana. Ibu dan anak itu diminta berdiam hingga kira-kira tiga bulan lamanya dengan pelayanan dan jamuan terbaik dari sanak famili keluarga ibu Abdul Muthalib.

Sebagaimana diterangkan oleh M. H. Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Membangun Peradaban Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi (2000: 209) menerangkan, ketika Muhammad mencapai usia 6 tahun beliau diajak bundanya, Aminah binti Wahb, berkunjung kepada kaum kerabatnya di Madinah, orang-orang Bani Adiy bin Najjar. Turut serta Ummu Aiman membantu Aminah dalam perjalanan yang agak jauh itu. Mereka bertiga berkendaraan dua ekor unta. Setiba di Madinah mereka singgah di rumah An-Nabighah, dan tinggal disana selama kurang lebih tiga bulan.

Beberapa bulan di Madinah memberi kenangan yang terpatri di lubuk hati si kecil Nabi Muhammad.

Karena beliau berkesempatan bergaul dengan anak-anak disana serta memperoleh pengalaman masa kanak-kanak yang seru. Disanalah putra Aminah itu asyik bermain di sebuah kolam air yang mengasyikkan, yang memberinya kecakapan berenang.

Aminah senang melihat keceriaan Nabi Muhammad bermain dengan anak-anak pamannya. Si kecil itu pun dapat mengenali alam sekitarnya, seperti mengejar-ngejar burung yang indah bulunya dan menawan kicauannya. Pengalaman ini terus terkenang hingga beliau dewasa dan hijrah ke Madinah.

M. H. Al-Hamid Al-Husaini (2000: 209-210) mengungkapkan, pada suatu hari ketika Rasulullah melihat pemukiman Bani Adiy bin Najjar di Madinah, beliau teringat akan masa kanak-kanaknya, lalu berkata kepada beberapa orang sahabat, “Di pemukiman ini dahulu aku pernah bermain-main dengan Anisah, seorang jariyah (pembantu wanita) dari kaum Anshar. Ketika itu aku bersama anak-anak para pamanku, mengejar-ngejar burung yang jatuh di tempat itu.”

Ketika melihat sebuah rumah disana beliau berkata, “Di rumah itu aku bersama ibuku tinggal dan dekat rumah itu terdapat pusara ayahku, Abdullah bin Abdul Muthalib, dan di kubangan air milik Bani Adiy bin An-Najjar itu aku dahulu dapat berenang dengan baik."

Pengalaman paling mengharukan tentulah ketika Aminah membawa putranya berziarah ke makam Abdullah. Tidak pernah mengenal raut ayahanda, Nabi Muhammad mesti menguatkan hati cukup hanya memandang pusaranya. Namun, di atas duka cita yang masih terasa, Aminah dapatlah bernapas lega.

Karena amanat itu telah ditunaikannya, putra terkasih dibesarkan dengan baik, dan dapat pula dibawa berziarah ke makam ayahanda. Kelegaan itu teramat menyejukkan dada Aminah, bagaikan terlepas dari beban berat yang menghimpit pundaknya.

Melalui perjalanan berat itu pula Aminah telah memberikan modal hidup teramat berharga bagi putranya. Siapa sangka justru di kemudian hari Madinah menjadi pusat dakwah Islam yang digelorakan oleh putra Aminah tersebut. Bahkan saat masa kecilnya, Barakah atau Ummu Aiman pun telah memahami tanda-tanda tersebut.

Muhammad Ali Quthb dalam buku Perempuan Agung di Sekitar Rasulullah Saw. (2009: 33) menerangkan, Barakah bertutur secara khusus tentang hal ini. Dia bercerita, “Suatu hari, datang dua orang Yahudi Madinah kepadaku dan berkata, ‘Perlihatkanlah Ahmad kepada kami agar kami dapat melihatnya.’ Kemudian, kedua orang itu menatap Muhammad saw. dengan tatapan yang mendalam.

Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya, ‘Anak ini sudah pasti adalah nabi umat semesta alam, sedangkan Madinah adalah tempat hijrahnya. Dia akan mengalami urusan besar mengenai peperangan dan tawanan.”

Setelah dirasa cukup, Aminah pun mengajak putranya pulang kembali ke Mekah. Mereka kembali menempuh perjalanan berat menempuh tandusnya gurun pasir. Tetapi langkah-langkah mereka sudah terhenti tidak jauh dari Madinah. Tepatnya di desa Abwa, Aminah tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan. Dia tergolek lemah akibat jatuh sakit.  

Akhirnya, Aminah tidak berhasil pulang ke kampung halamannya, karena dia berpulang ke haribaan Tuhan. Maka tuntaslah tugas mulia yang diemban oleh perempuan agung itu sebagai ibunda dari calon nabi kekasih Allah. Baru saja Nabi Muhammad berziarah ke makam ayahanda, dan di usia masih dini pula ia melepas kepergian ibunda untuk selama-lamanya.

Riyadh Hasyim Hadi dalam bukunya Sirah Nabawiyah Riwayat Imam Al-Bukhari (2020: 158-159) menerangkan, Abwa sebuah kampung. Jaraknya dengan Juhfah 23 mil dari Madinah. Ada keterangan, ia dinamakan Abwa karena kampung tersebut pernah terkena wabah (banyak penyakit). Abwa sebuah kampung kecil terletak antara Mekah dengan Madinah. Disitulah ibu Rasulullah, Aminah dikebumikan setelah meninggal karena sakit demam.

Dapatlah dibayangkan betapa mendalamnya kesedihan yang melanda Rasulullah. Di usia sekecil itu, dan jauh pula dari kampung halamannya, namun beliau menguatkan hati demi menghadapi cobaan.

Muhammad Husain Haikal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad (2007: 53) menggambarkan kepiluan Nabi Muhammad, ia makin merasa kehilangan. Sudah ditakdirkan juga ia menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup yang makin sunyi, makin sedih.




Belum Ada Perang Seunik Perang Ahzab

Sebelumnya

Mukjizat Nabi pada Periuk Istri Jabir

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Sirah Nabawiyah