“INILAH saatnya hijrah!” Demikianlah kebulatan tekad yang tengah digelorakan perempuan manis itu. Seiring dengan hijab rapi yang mulai dikenakannya, perempuan tersebut pun memutuskan total berhijrah kepada jalan takwa.
Dia tidak mau setengah-setengah dalam berhijrah. Pokoknya, segala tindak-tanduk, gerak-gerik hingga gaya hidupnya berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
Dan sampailah dirinya kepada ayat tentang larangan bagi perempuan berlemah-lembut dalam bersuara.
Padahal profesi dirinya sebagai pembicara publik, yang membuat suaranya yang memang lembut dari sananya menjadi santapan kaum Adam. Apakah dirinya harus mengakhiri kecemerlangan karir yang dirintisnya susah payah untuk kesempurnaan hijrah?
Sebelum dirinya membuat keputusan, baiknya dipahami terlebih dahulu konteks ayat tersebut.
Surat al-Ahzab ayat 32, yang artinya, “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah qaulan ma’rufan.”
(Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa,) potongan ayat ini secara tersurat menyeru kepada istri-istri Nabi. Karena apapun ajaran Islam, khususnya tentang perempuan, hendaknya dimulai seruannya dan pengamalannya dari para pendamping hidup Rasulullah tersebut.
Namun, secara tersirat dan tersuruk, sesungguhnya seruan yang dikandung ayat itu menyangkut kaum muslimah secara keseluruhan. Berhubung para istri Nabi Muhammad adalah muslimah sekaligus teladan bagi kita semua, maka seruan ini pun ditujukan pula kepada semua muslimah, yaitu agar mereka membuat dan menjaga pembedaan dirinya dari perempuan lain yang bukan beragama Islam.
Baik itu istri Nabi secara khususnya, maupun muslimah secara umumnya, hendaklah menjaga identitas diri sebagai perempuan bertakwa.
(Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya)
Ada dua titik kritis yang diperingatkan oleh potongan ayat ini:
Pertama, janganlah sengaja tundukkan suara dengan dilemah-lembutkan.
Jadi, yang dilarang pada perempuan itu adalah melemah-lemahkan suaranya, dimanja-manjakan, didesah-desahkan demi menggoda atau mungkin bertujuan menggairahkan pria tertentu. Suara macam inilah yang terlarang, karena menyasar hal-hal negatif dalam interaksi terhadap lawan jenis.
Kedua, nada suara yang membangkitkan nafsu birahi orang yang ada penyakit hati.
Sudahlah suaranya dibuat merangsang, ditujukan pula atau terdengar oleh pria berpenyakit hatinya, maka makin runyamlah keadaan jadinya. Pesan ayat ini jelas sekali, agar muslimah berhati-hati dengan pria yang punya menyakit hati, karena gara-gara mendengar suara lembut menggoda pun mereka dapat melakukan hal-hal berbahaya.
Kalau memang terpaksa berbicara di hadapan pria-pria berpenyakit hati, maka pakailah nada suara yang tegas. Perempuan tidak perlu merubah takdir suaranya yang memang lembut. Namun, kaum muslimah dibimbing dalam menata nada bicara, dengan suara yang tegas menunjukkan keteguhan dirinya sebagai muslimah sejati.
Balik lagi kepada suara nan lembut! Masalahnya, bukankah sudah anugerah Ilahi suara perempuan itu memang lembut, mau bagaimana lagi?
Dan ayat suci pun memberikan solusinya!
Sama sekali agama tidak melarang perempuan bersuara, melainkan ayat menyuruh (dan ucapkanlah qaulan ma’rufan), tentang kata-kata yang baik sudah sering terdengar anjurannya. Namun, Al-Qur’an menyebutnya dengan indah, dengan redaksi qaulan ma’rufan.
Apabila diramu pendapat Imam Ath-Thabary pada kitab tafsir Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an (1968: 3) dengan pandangan Sayyid Qutb dalam kitab Fii Zhilal al-Qur’an (1971: 256), maka qaulan ma’rufan bisa didefenisikan berupa, ucapan yang indah, baik lagi pantas dalam tujuan kebajikan, tidak mengandung kemunkaran, atau kekejian dan tidak bertentangan dari ketentuan Allah.
Defenisi di atas memposisikan muslimah untuk menyampaikan perkataan yang pantas, yang sesuai dengan tuntunan agama Islam dan menutup peluang terjadinya pelecehan. Perkataan yang pantas (ma’ruf) jauh dari unsur-unsur kejahatan ataupun kekejian yang terselubung di balik untaian kata-kata manis. Ia disampaikan secara lugas, tepat dan bukan mengada-ada, apalagi berlebih-lebihan.
Secara lebih tegas diungkapkan oleh Zamakhsary dalam kitab Al-Kasysyaf an-Haqaiq at-Tanzil wa Uyun al-Aqawil Fi Wujuh at-Ta’wil (1983: 373) yang menyebut qaulan ma’rufan, yaitu tidak mengandung unsur kejahatan dan kekejian dalam berbicara.
Apabila perempuan melunak-lunakkan, mendasah-desahkan atau memanja-manjakan nada bicara maka teranglah di sana terkandung unsur kejahatan bahkan kekejian. Terutama wanita yang telah menikah, sungguh makin aib bila dirinya masih genit saat bicara dengan pria selain suaminya.
Padahal, hakikat dari qaulan ma’rufan menjaga agar perempuan tidak terjerumus menjadi korban pelecehan, apalahi kalau dirinya kebetulan berada dalam posisi lemah. Maka, retorika qaulan ma’rufan bagi perempuan berupa kata-kata yang sederhana tidak mendayu-dayu yang memancing libido seks laki-laki hingga berhasrat mesum.
KOMENTAR ANDA