BISA-bisa saja ada pihak yang geli ketika mengetahui produk herbal pun memerlukan sertifikat halal.
Bukankah barangnya telah alami dari bahan tumbuhan atau rempah, apa lagi persoalannya?
Begitu pulalah gelinya seorang perempuan tatkala berupaya menunjukkan bakti kepada orang tua yang sudah sepuh. Demi menunjang vitalitas tubuh sang ibunda, dia pun menyuguhi obat-obatan herbal.
“Tidak ada efek sampingnya bagi kesehatan ibu,” ucap sang anak yang juga sudah punya beberapa anak pula.
Dan masih-masih sempatnya nenek itu mengamati kemasannya. Kemudian ia tegas menolak, “Tidak mau!”
“Tidak ada logo halalnya!” alasannya.
Ibu muda itu menjadi tercengang. Sebagai anak dirinya telah mengupayakan yang terbaik, tetapi sikap ibunya menggelikan. Kok, herbal masih ditanyakan halalnya?
Tapi, duduk perkaranya tidak ada hubungan sama sekali dengan rasa geli, karena sebutan herbal bukanlah jaminan kehalalan. Terlebih lagi, di era modern nan canggih begini, para pelaku usaha kian kreatif mencampurkan produk herbal dengan bahan-bahan pendukung, yang ujung-ujungnya patut dipertanyakan kehalalannya.
Sofia Andalusia & Sri Wahyuni dalam bukunya Seri Tumbuhan Obat Berpotensi Hias (2013: 10) menerangkan, obat herbal menurut World Health Organization (WHO) adalah obat yang mengandung bahan tanaman atau bagian tanaman -dalam keadaaan diolah maupun tidak- sebagai zat aktifnya, serta bisa mengandung zat tambahan (excipients).
Kalau hanya berupa bahan tambahan atau penolong, barangkali tidak akan mengurangi statusnya sebagai produk herbal, akan tetapi bahan-bahan tambahan itu belum dapat dipastikan berstatus halal kan?
Hal yang sama dijelaskan oleh laman halalmui.org, yaitu, hal pertama yang harus dipastikan adalah kehalalan bahan. Tak dapat dimungkiri tumbuhan dan rempah melalui berbagai proses yang membutuhkan bahan-bahan lain untuk menolong keberhasilan proses tersebut. Beberapa bahan penolong berasal dari hewan, sehingga harus dipastikan bahan penolong tersebut berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah.
Yang juga perlu diperhatikan, ada jamu yang menggunakan campuran bahan dari organ binatang buas. Sehingga status kehalalannya pun dapat diragukan, atau bahkan menjadi haram dikonsumsi bagi umat muslim.
Setelah ingredient kandungan bahannya dibaca dengan teliti, ternyata, jamu atau obat yang disebut herbal itu mengandung bahan hewani juga. Di antaranya adalah darah ular, tangkur buaya, kuku macan, hati beruang, dan sebagainya.
Dari penjelasan di atas, kita bisa tergidik ngeri melihat bahan penolong atau tambahan itu berasal dari binatang yang menyeramkan, yang di antaranya jelas sekali haram dikonsumsi karena tergolong buas.
Namun, kondisi begini tidaklah begitu mengherankan, mengingat pihak yang membuat produk herbal tidak semuanya penganut Islam. Meski tidaklah semua produk herbal demikian adanya, tetapi boleh dong kalau konsumen muslim ekstrawaspada.
Selain berhati-hati terhadap bahan-bahan tambahan yang hewani, produk-produk herbal juga rawan dari dimensi yang lainnya.
Lebih lanjut pada laman halalmui.org diungkapkan, hal yang menjadi titik kritis selanjutnya adalah cangkang kapsul. Dengan berkembangnya teknologi, saat ini sudah banyak jamu yang dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Pada dasarnya, cangkang kapsul itu dibuat dari bahan gelatin. Sayangnya, sebagian besar bahan gelatin berasal dari hewan.
Cangkang kapsul ini besar sekali manfaatnya lho! Serbuk herbal yang rasanya agak pahit menjadi mudah ditelan berkat keberadaan cangkang kapsul. Ini jelas terobosan yang memudahkan umat manusia. Akan tetapi justru cangkang yang terbuat bahan gelatin dari hewan inilah yang menjadi titik kritis tambahan pada produk herbal.
Sudjadi & Abdul Rohman dalam bukunya Analisis Derivat Babi (2018: 13) menguraikan, gelatin yang beradar di pasaran umumnya dibuat dari hidrolisis tulang sapi, kulit sapi dan kulit babi. Gelatin merupakan protein yang tersusun dari berbagai asam amino. Hal ini dijadikan sebagai dasar beberapa peneliti untuk pembedaan gelatin sapi dan gelatin babi dalam cangkang kapsul. Komposisi asam amino suatu gelatin, antara lain dipengaruhi oleh spesies hewan penghasil gelatin tersebut. Dibandingkan gelatin sapi, gelatin babi mengandung glisin, prolin, dan arginin dalam kadar yang lebih tinggi.
Secara hitung-hitungan bisnis, penggunaan gelatin babi memang punya kelebihan dalam pembuatan cangkang kapsul, yang kemudian dimanfaatkan pula oleh produk-produk herbal.
Terserah apapun kelebihannya, tapi yang namanya gelatin babi tetap terlarang, meskipun itu hanya dimasukkan sebagai bahan penambah pada cangkang kapsul. Karena toh cangkang kapsul itu akan ditelan, dicerna lalu menjadi saripati tubuh kita. Itulah risiko yang perlu diperhatikan!
Demikianlah berharganya keimanan, yang menjaga dengan hati-hati faktor kehalalan. Jangan pernah terbuai dengan suatu istilah yang terdengar manis, padahal boleh jadi kelengahan itu yang membuat kita tersandung zat-zat haram.
Jadi, kejadian nenek-nenek yang menolak produk herbal hendaknya dihargai, karena di usia senja dia pun masih berhati-hati dalam kehalalan.
KOMENTAR ANDA