SUAMI istri itu sama-sama sepakat untuk melakukan perbaikan dan peningkatan dalam perayaan Idul Adha kali ini. Pasangan serasi tersebut tidak mau Idul Adha berlalu dingin-dingin saja, pokoknya jangan kalah semarak dengan Idul Fitri. Lagi pula, di negara-negara muslim lainnya malah Idul Adha yang paling meriah.
Berhubung sang suami doyan makan dan suka pesta, maka dirinya mengusulkan persediaan lebih banyak kue-kue, minuman dan makanan berselera selama Idul Adha. Kegiatan silaturahmi antar keluarga besar dirancangnya dalam acara ramah tamah nan meriah. Pakaian-pakaian baru perlu dibeli, begitu pula parfum-parfum. Anak-anak dibikin ceria dengan hadiah-hadiah.
Dibandingkan faktor kemeriahan, sang istri lebih mengharapkan pengembangan dimensi rohani. Istrinya yang tipikal hemat, cermat dan bersahaja, lebih menginginkan Idul Adha dirancang lebih syahdu, dengan meningkatkan amal-amal kebajikan, dengan menambang lebih banyak pahala, yang di antaranya melalui amalan-amalan sunah.
Tradisi memang memberi pengaruh besar, tak terkecuali dalam perayaan keagamaan sekalipun. Sebagaimana di Indonesia, Idul Fitri lebih semarak dibanding Idul Adha. Namun demikian, yang namanya hari raya perlu sama-sama dirayakan dengan maksimal, karena di setiap ibadah itu terkandung amalan-amalan yang berlimpah pahala.
Tidak setiap muslim berkesempatan menunaikan ibadah haji, tidak semua orang dapat menyembelih kurban, akan tetapi limpahan pahala dapat diraih dari berbagai amalan sunah yang tersedia dalam Idul Adha.
M. Khalilurrahman Al-Mahfani dalam Buku Pintar Shalat (2008: 197-198) menguraikan, ada beberapa amalan-amalan sunah yang dianjurkan dilaksanakan oleh umat Islam menjelang berkenaan dengan shalat Idul Adha antara lain:
1. Mandi sebelum berangkat shalat Idul Adha.
2. Tidak makan atau minum sebelum berangkat shalat Idul Adha.
3. Mengenakan pakaian yang paling bagus yang dimiliki dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang ada.
4. Menempuh jalan yang berlainan ketika berangkat dan pulang shalat hari raya.
5. Mengikutsertakan kaum wanita dan anak-anak
6. Memperbanyak takbir di luar shalat.
Para ulama menunjukkan perhatian besar dalam memaparkan perihal amalan-amalan sunah Idul Adha, sebab inilah peluang pahala yang dapat diraup oleh semua lapisan umat Islam tanpa pengecualian apapun.
Amalan-amalan sunah itu pun telah dilakukan dengan khidmat oleh Nabi Muhammad, sehingga hendaknya menjadi faktor penyemangat bagi umat dalam menunaikannya.
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam Ensiklopedi Muslim (2017: 416) menjelaskan:
Anas bin Malik Ra. berkata, “Rasulullah saw. memerintahkan kita di dua hari raya mengenakan pakaian terbagus yang kita miliki, menggunakan parfum terbaik yang kita miliki, dan berkurban dengan apa saja yang paling bernilai yang kita miliki.” (Diriwayatkan Al-Hakim dan sanadnya baik), “Rasulullah mengenakan kain burdah yang bagus pada setiap hari raya.” (Diriwayatkan Imam Syafi'i dan sanadnya baik)
Apabila disimak sunah-sunah yang berhubungan dengan Idul Adha, maka dapat dipertemukan kecenderungan suami maupun keinginan istri dalam kisah pembuka di atas. Karena dalam Idul Adha memadukan ruhiah dengan unsur-unsur perayaan nan gempita.
Misalnya, disunahkan memakai wewangian dan pakaian terbaik, itu artinya beli parfum dong. Dan juga membeli pakaian baru diperbolehkan atau malah berpahala ekstra dalam rangka memuliakan hari raya.
Keadilan juga ditegakkan Islam dengan mengikutsertakan kaum perempuan dan anak-anak dalam keceriaan Idul Adha. Dan yang mengagumkan, pada hari raya Rasulullah memberikan suatu perlakuan istimewa bagi kaum hawa.
Sayyid Sabiq pada buku Fiqih Sunnah 2 (2017: 49) mengungkapkan, Ibnu Abbas ra. meriwayatkan, “Aku ikut pergi bersama Rasulullah saw. menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha kemudian beliau melaksanakan shalat dan berkhutbah. Setelah itu, beliau mengunjungi tempat kaum wanita lalu mengajarkan (ilmu) dan menasehati mereka serta menyuruh mereka agar mengeluarkan sedekah.”
Ketika di masa itu berbagai peradaban mengucilkan perempuan, Nabi Muhammad menghadirkan mereka pada puncak hari raya. Sungguh penghargaan yang teramat mengharukan!
Sayyid Sabiq (2017: 48) mengutip, Ummu Athiyyah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Kami diperintahkan oleh Nabi saw. agar memerintahkan keluar para gadis dan wanita yang haid pada kedua hari raya agar mereka menyaksikan kebaikan pada hari itu. Dan hendaknya wanita-wanita yang haid terpisah dari tempat shalat.”
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa "Rasulullah saw. keluar dengan seluruh istri dan anak-anak perempuannya pada dua hari raya.”
Nah, bagi ayah yang menghadirkan anak-anak perempuannya, bagi suami-suami yang berdampingan dengan istri mereka pada shalat Idul Adha, sungguh mereka telah melakukan sesuatu yang dicintai oleh Nabi Muhammad. Karena beliau menghadirkan kaum perempuan demi turut merasakan kebahagiaan hari raya. Bahkan perempuan haid pun tetap didatangkan, tentunya dengan posisi yang terpisah dari mereka yang menunaikan shalat.
Uniknya lagi, di antara sunah Idul Adha itu terdapat amalan yang tanpa disadari malah semakin meluaskan keceriaan di hari raya, di mana kaum muslimin dianjurkan untuk melalui jalan yang berbeda saat berangkat dan pulangnya.
Sayyid Sabiq (2017: 49) memaparkan, "Abu Hurairah meriwayatkan bahwa apabila Nabi saw. pada waktu hari raya, (ketika berangkat dan pulang dari shalat Id) menempuh jalan yang berlainan dengan jalan yang beliau lalui ketika pergi.”
Ada suatu rahasia nan indah di balik anjuran ini, karena dengan berlainannya jalan yang ditempuh saat berangkat atau pulang. Di mana terbuka kesempatan bagi kita bersilaturahmi, setidaknya bertegur sapa saling mengucapkan selamat dengan orang-orang yang berbeda pula.
Memang dianjurkan tidak makan minum menjelang shalat Idul Adha dilaksanakan, tetapi sesudahnya kita dapat menikmati hidangan berselera, apalagi jika yang disantap itu adalah hidangan daging kurban, yang insyaallah makin berlimpah keberkahannya.
Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya Fiqih Islam wa Adilatuhu Jilid 2 (2021, hal. 480) menerangkan, hadis Buraidah, “Rasulullah tidak akan keluar pada hari Idul Fitri sebelum beliau makan dulu. Adapun pada hari kurban, beliau tidak makan sampai selesai melakukan shalat. Alasan tidak makan terlebih dahulu sebelum shalat pada hari Idul Adha agar seseorang makan dari hewan kurbannya jika ia berkurban. Alhasil dianjurkan untuk menunda makan secara mutlak pada hari Idul Adha, baik seseorang itu berkurban ataupun tidak.”
Idul Adha juga menyediakan ibadah kurban, sehingga membuat santapan daging pun tersedia. Hanya saja, Islam menuntun umatnya untuk menyadari perut bukanlah segala-galanya. Kita perlu meresapi lebih mendalam lagi hakikat jiwa manusia.
Demikianlah agama membuat keseimbangan yang apik, ibadah tetap khusyuk khidmat tetapi juga menyalurkan kebutuhan manusiawi terkait keceriaan dan kegembiraan. Namanya saja hari raya Idul Adha, makanya ada sesuatu yang kita rayakan dengan suka cita dan tentunya meraup pahala dari amalan-amalan sunah.
KOMENTAR ANDA