ADA-ada saja cara cinta menemukan jalan kebenarannya, demikian pula kegemilangan cinta suci yang akhirnya menghampiri Nabi Muhammad. Kisah yang indah ini bermula dari kerjasama bisnis yang berlandaskan kejujuran.
Nabi Muhammad punya modal ciamik, sebab di masa remaja dirinya sudah ikut berdagang ke Syam. Kini dirinya telah tumbuh menjadi pemuda tampan yang sarat pengalaman, pemikiran cemerlang dan kepribadian menarik.
Kemudian tersiar kabar seorang pebisnis handal bernama Khadijah membutuhkan mitra yang akan memperdagangkan barang-barangnya ke Syam. Nabi Muhammad tertarik dengan peluang ini tatkala pamannya mengabarkan. Terlebih lagi sosok terhormat Khadijah telah demikian melegenda dengan reputasi yang mengagumkan.
Sayed Ali Asgher Razwy dalam buku Muhammad Rasulullah saw.: Sejarah Lengkap Kehidupan & Perjuangan Nabi Islam Menurut Sajarawan Timur dan Barat (1997: 49) menerangkan, Khadijah binti Khuwailid adalah penduduk kota Mekah. Sebagaimana Muhammad, ia juga berasal dari suku Quraisy. Ia sangat dihormati warga kota Mekah lantaran karakternya yang patut diteladani serta kemampuannya mengorganisasi.
Sebagaimana Muhammad dijuluki sebagai Ash-Shadiq dan Al-Amin, Khadijah pun dijuluki sebagai Ath-Thahirah, yang artinya orang yang suci. Ia juga dikenal di antara bangsa Arab sebagai saudagar yang kaya raya. Kapan pun kafilah-kafilahnya meninggalkan atau kembali ke Mekah, volume muatannya jauh melebihi volume muatan seluruh kafilah saudagar-saudagar Mekah bila digabung menjadi satu.
Perdagangan merupakan sumber penghidupan penting bagi denyut nadi perekonomian Mekah. Para saudagarnya berani menempuh jalur perdagangan ke kawasan Syam, di Jazirah utara pada musim panas, dan menjelajahi Jazirah selatan di Yaman, untuk berdagang pada musim dingin. Bukan hanya itu, kafilah dagang mereka juga bergerak ke pantai Laut Merah, lalu menyeberang ke negeri Habasyah atau Abisinia di benua Afrika.
Di negeri-negeri jauh itu mereka bukan hanya berjualan, tetapi juga membeli apapun yang nantinya dapat dijual lagi di Mekah. Demikian berani dan cerdiknya para saudagar Quraisy dalam berbisnis.
Perjalanan yang teramat jauh dengan berbagai ancaman marabahaya tidaklah mengurangi semangat mereka berdagang. Para pemilik modal bermitra dengan orang-orang yang dipercaya dalam menjalankan perdagangan itu ke negeri-negeri yang membuka bisnis internasional.
Dengan demikian, terbuka pula ladang pekerjaan sebagai agen atau mitra bisnis yang akan menempuh perjalanan jauh demi memperdagangkan barang-barang tersebut. Kerja keras mitra dagang inilah yang menentukan besarnya keuntungan dan pebisnis handal perlu memiliki kecermatan dalam menentukan mitra yang terbaik.
Eksistensi Khadijah sebagai pebisnis perempuan yang supertajir seperti keajaiban yang nyata di garangnya kehidupan padang pasir. Dalam tradisi gurun yang demikian keras, yang membuat perempuan tertindas, siapapun dapat menilai kualitas dan kapasitas Khadijah yang tegak bak mercusuar. Dia bukan pebisnis kaleng-kaleng, kafilah dagang perempuan tersebut mengalahkan saudagar-saudagar Mekah lainnya.
Ada peran besar Abu Thalib yang bernegosiasi agar keponakannya itu dipercaya memimpin kafilah dagang milik Khadijah. Dia amat mencintai Nabi Muhammad yang diasuh sejak kanak-kanak hingga tumbuh menjadi pemuda mengagumkan. Kini, Abu Thalib meyakini kemanakannya itu butuh perkembangan diri yang lebih berharga dengan berdagang di level tertinggi.
Sayed Ali Asgher Razwy (1997: 49) menyebutkan, tatkala Muhammad telah berusia 25 tahun, Abu Thalib memperkenalkannya kepada Khadijah dan meminta Khadijah agar menunjuk Muhammad sebagai agennya dalam salah satu kafilahnya yang sudah bersiap bertolak ke Suriah (Syam-red) beberapa saat lagi. Faktanya, saat itu Khadijah memang sedang sangat membutuhkan seorang agen. Ia kontan setuju dan langsung menunjuk Muhammad sebagai agennya.
Sang paman benar-benar memahami kualitas keponakannya, sehingga Abu Thalib berani melakukan negosiasi yang cerdik, yang tentunya akan saling menguntungkan. Bayaran yang akan diterima Nabi Muhammad lebih besar, dan Khadijah dengan cepat pula setuju.
Zaim Uchrowi dalam bukunya Muhammad Sang Teladan (2011: 9) menguraikan, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu.
Sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor unta. Khadijah setuju.
Memang tidak butuh butuh waktu lama bagi Khadijah menyetujuinya, karena betapa dirinya telah mendengar kemasyhuran pemuda Mekah itu yang digelari Al-Amin, atau yang tepercaya. Sehingga Khadijah pun dengan cepat memahami negosiasi yang diajukan oleh Abu Thalib, sebagai pebisnis handal tentulah dia sudah memiliki pertimbangan yang matang.
Sejak mula-mula ini penting ditekankan, Nabi Muhammad bukan pekerja Khadijah, melainkan dirinya mitra yang sejajar. Khadijah sebagai pemodal dan Rasulullah sebagai agen yang menjualnya di negeri Syam, jadi beliau bukanlah anak buah melainkan mitra bisnis.
Zaim Uchrowi (2011: 9-10) menerangkan, untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman-Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain lagi yang pernah dilaluinya saat kecil. Muhammad dibantu oleh budak Khadijah, Maisarah dalam kafilah tersebut.
Rute dagang yang teramat jauh itu bukanlah perkara baru bagi Nabi Muhammad, malahan berbagai daerah yang dilintasi menyegarkan kembali kenangan masa remajanya terdahulu. Perjalanan bisnis ini menggelorakan semangat masa mudanya.
Dan Khadijah menyertakan pelayannya bernama Maisarah dalam kafilah dagang Nabi Muhammad. Maisarah yang menjadi mata telinga Khadijah dalam mengamati pemuda yang digelari Al-Amin, yang membuat penduduk Mekah demikian terpesona.
Sayed Ali Asgher Razwy (1997: 49-50) mengungkapkan, segera saja Muhammad memimpin kafilah dagang Khadijah dan bertolak ke Suriah. Keberhasilan ekspedisi dagang ke Suriah itu ternyata jauh melebihi yang diharapkan. Khadijah amat terkesan dengan kemampuan dan kecakapan agennya itu. Ia lalu memutuskan untuk selalu melibatkan Muhammad dalam seluruh transaksi bisnisnya di masa mendatang.
Takjubnya Khadijah bukan hanya berhubungan dengan meledaknya keuntungan bisnis, tetapi lebih mengagumkan lagi rangkaian cerita manis dari Maisarah tentang sosok pemuda yang berbudi luhur.
Maisarah menyaksikan bisnis yang berlandaskan akhlak mulia yang diterapkan oleh Rasulullah, yang justru memikat para pembeli. Beliau dengan kejujurannya menawarkan barang dagangan. Nabi Muhammad tidak berlebihan dalam mempromosikan meski pun barangnya itu berkualitas bagus.
Dan beliau tidak sungkan menerangkan dengan jujur apabila ada cacat atau kekurangan pada barang dagangannya. Kepuasan pembeli itulah yang membuat dagangan menjadi laris manis dan menghasilkan keuntungan berlipatganda.
KOMENTAR ANDA