Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BUKAN kaleng-kaleng! Begitulah ucapan yang pernah populer menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Begitu pula dengan makanan kaleng yang perannya juga tidak main-main dalam proses pengawetan makanan. Dalam sejarahnya makanan kaleng juga memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Nur Zaman, dkk. dalam buku Pengantar Teknologi Pertanian (2022: 93) mengungkapkan, kemudian pada abad ke-19, terobosan besar dalam pengawetan makanan telah dimulai. Prinsip pengalengan bahan pangan Appert (menggunakan botol bersegel) berhasil diterapkan untuk menyuplai makanan pada masa perang yang kemudian menjadi dasar pengalengan bahan pangan menggunakan bahan dasar kaleng.

Suplai ransum di masa perang tidak akan pernah mudah, sebagaimana tidak mudahnya peperangan itu sendiri. Maka penemuan makanan kaleng menjadikan yang sulit itu menjadi kemudahan bagi memenuhi ransum prajurit.

Dengan berakhirnya perang, pamor makanan kaleng bukannya memudar tapi malah kian merajalela beredar dimana-mana. Berbagai inovasi teknologi terus dikembangkan sehingga makanan kaleng kian praktis dibawa-bawa. Dan kini pun akan sulit menemukan manusia modern yang tidak pernah mencicipi nikmatnya makanan kaleng.  

Dan, apakah ada yang memikirkan untuk mempertanyakan faktor kehalalan? Inilah pertanyaan yang hendaknya sedari tadi paling dinanti-nanti oleh pemirsa muslim.

Perihal makanan kaleng yang halal ternyata telah menjadi kebutuhan di belahan bumi Eropa. Sekalipun muslimin di benua biru itu minoritas, tetapi terkait makanan kaleng halal rupanya mereka melangkah lebih maju.

Gusnelly, dkk. dalam buku Diaspora Muslim Indonesia di Belanda (2021: 86-87) menceritakan, untuk itu kepastian penyediaan makanan yang halal menjadi sangat penting bagi pemenuhan konsumsi masyarakat muslim di Eropa. Doner Kebab, makanan cepat saji khas Turki, hadir pertama kali di kalangan imigran Jerman pada akhir dekade 1960-an. Disusul toko-toko daging halal dan produk-produk makanan kalengan berlogo halal, seperti misalnya merek Baktat.

Baktat yang berkantor pusat di Jerman berdiri pada tahun 1986 dan menjadi salah satu pelopor makanan kaleng halal di Eropa yang pada awalnya khusus melayani kebutuhan pasar imigran Turki.

Sebagai negara dengan mayoritas muslim yang terbesar pula di dunia hendaknya Indonesia melangkah lebih jauh lagi. Makanan kaleng telah banyak sekali beredar di negara ini dan dikonsumsi oleh banyak penganut Islam. Nah, bagaimana nih perkembangan makanan kaleng yang bersertifikasi halal? Apakah benar-benar sudah terpenuhi?

Rupa-rupanya ada berbagai titik kritis yang perlu dicermati makanan kaleng, yang hendaknya menambah kesadaran kaum muslimin agar lebih berhati-hati.     

Sebagaimana dilansir oleh halalmui.org mengungkapkan, pewarna alami, selama penyimpanan cenderung tidak stabil. Supaya stabil, biasanya disalut atau dicoating dengan bahan tertentu. Penyalut yang paling riskan adalah gelatin. Karena 40% gelatin dunia diproduksi dari kulit babi. Selain itu, ini juga berasal dari kulit atau tulang sapi.

Penggunaan bumbu penyedap (flavor enhancer) seperti MSG atau vetsin. MSG adalah produk fermentasi. Menurut standar MUI (Majelis Ulama Indonesia), untuk produk fermentasi, yang perlu diperhatikan adalah medianya. Media fermentasi harus bersih dari segala sesuatu yang najis, salah satu yang mungkin digunakan sebagai bahan penolong adalah enzim, harus dipastikan kehalalannya.

Kalau tuna in brine adalah tuna yang dimasukkan ke dalam air garam, tidak ada titik kritis keharamannya, tetapi kalau tuna in oil atau tuna yang dimasukkan ke dalam minyak, harus diperhatikan sumber minyaknya (apakah nabati atau hewani) serta ada beberapa bahan lain yang juga perlu dikritisi kehalalannya.

Dengan demikian, baik itu bahan pewarna, bumbu penyedap maupun minyak nabati atau hewani  sama-sama rentan disusupi bahan yang diharamkan agama. Dan dengan pesatnya perkembangan dunia kuliner, sangat memungkinkan bahan-bahan kritis lain juga ikut dimasukkan ke dalam makanan kaleng.

Zulham dalam buku Peran Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal (2018: 202-203) menerangkan, untuk memastikan validasi informasi tersebut, dilakukan dengan sertifikasi, labelisasi, dan pengawasan informasi, sebagai kontrol atas informasi yang menyesatkan (misleading information).

Contohnya, seperti daging kaleng, konsumen hanya perlu men-disclosure informasi kandungan produk tersebut, sehingga konsumen dapat membuktikan bahwa produk tersebut halal atau tidak, dan itu melalui sertifikasi dan labelisasi halal, serta pengawasan atas informasi tersebut.  

Apa yang diungkapkan di atas sudah menjadi cara termudah bagi konsumen muslim melindungi dirinya dari kemungkinan mengonsumsi bahan-bahan terlarang. Hanya saja, yang dinantikan ialah kearifan pihak produsen makanan kaleng dalam menaati sertifikasi halal ini.

 




Memperjelas Kehalalan Tepung Darah

Sebelumnya

Pig Skin yang Sedang Viral, Halalkah Dipakai untuk Umat Muslim?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Halal Haram