HAJI yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga (HR. Bukhari & Muslim).
Namun perihal mabrur atau tidak mabrur haji seseorang, yang menilai hanya Allah Swt. Tak seorang pun dari kita bisa menjamin ibadah yang kita lakukan diterima atau tidak.
Meski demikian, ada tanda-tanda haji mabrur yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan hadis maupun para ulama.
Pertama, harta yang dipakai untuk melaksanakan ibadah haji adalah harta yang halal. Harta yang halal dan tentu saja thayyib, yang diperoleh bukan dari riba, maksiat, atau memperjualbelikan barang yang diharamkan Islam.
Kedua, melakukan segenap amalan haji sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. dan ikhlas dalam berhaji.
Kita melakukan semua rukun dan kewajiban, meninggalkan semua larangan, dan menebus kesalahan yang kita lakukan sesuai ketentuan.
Syuraih al-Qadhi dalam Lathaiful Ma'arif mengatakan, "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jemaah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah."
Ketiga, ibadah haji dipenuhi banyak amal saleh. Mulai dari salat pada waktunya, memperbanyak salat sunnah, memperbanyak dizikir, juga bersedekah termasuk memberi makan orang lain, dan berkata-kata yang baik terhadap sesama. Dan jika amal saleh diperbanyak, maka perbuatan dosa pun ditinggalkan.
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Dalam kondisi ihram, larangan mengerjakan maksiat lebih ditegaskan. Termasuk hubungan suami istri, jauh dari ketaatan kepada Allah Swt., juga saling membantah secara berlebihan.
Di sinilah seorang yang berhaji dituntut untuk memperkaya sabarnya meniru yang dilakukan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail serta menjauhkan diri dari sikap sombong karena merasa diri paling benar.
Dengan memperhatikan keempat tanda haji mabrur di atas, kiranya kita yang belum mampu untuk berangkat ke Baitullah bisa menjalankan amalan-amalan tersebut agar kita terbiasa untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari keseharian kita.
Menunaikan ibadah haji ke Baitullah adalah rukun Islam kelima yang memiliki syarat "bagi yang mampu". Karena itulah, ketika seseorang terus berusaha menjadikan dirinya mampu pergi berhaji namun masih belum mencukupi, bukan lantas keislamannya menjadi kurang baik.
Kita melihat banyak orang yang sudah berhaji namun tutur kata dan perilaku mereka menyakitkan sesama, tak punya kepedulian dan empati, pun menyepelekan ibadah.
Mereka mungkin menganggap kepergian mereka ke Baitullah—entah itu satu atau lebih dari satu kali—telah menjadikan mereka Muslim yang lebih sempurna dari Muslim lain yang belum mampu berhaji.
Padahal, diterimanya amal—termasuk haji adalah murni kehendak Allah Swt. Tak seorang pun bisa memastikan apakah ibadah haji mereka mabrur atau tertolak. Namun tanda-tandanya bisa tampak selepas mereka pulang dari berhaji.
Bagi kita yang belum mampu menunaikan ibadah haji, marilah kita menggapai kualitas haji dengan memperbaiki diri terus-menerus.
Kita membasahi lisan dengan istighfar, memprioritaskan Allah Swt. dalam kehidupan, dan tidak pelit dalam membantu sesama yang membutuhkan uluran tangan. Wallahu a'lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA