Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ALKISAH di sebuah desa, ada seorang nenek penjual tempe yang tinggal sebatang kara. Setiap hari dia membuat tempe dan menjualnya di pasar untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Hal itu sudah dia lakukan selama bertahun-tahun. Meskipun demikian tak pernah sekalipun ia mengeluh, semua dijalani dengan hati yang gembira.

“Jika tempe bisa membuatku mendapatkan uang yang halal dan bisa bermanfaat bagi orang banyak, mengapa aku harus menyesalinya?” demikian cara nenek itu menyemangati dirinya.

Suatu pagi, selepas Shubuh, nenek itu bersiap-siap berjualan. Ia mengambil keranjang bambu yang digunakannya  Bergegas ia menuju meja panjang tempatnya meletakkan tempe yang dibuatnya sehari sebelumnya.

Ia memeriksa salah satu tempe yang ada di meja itu. Nenek itu terkejut, dadanya bergemuruh. Masih belum percaya, dia periksa lagi beberapa buah tempe yang lainnya. Yaa Allah..

Tempe yang akan ia jual, ternyata belum jadi. Bentuknya masih berupa kacang kedelai yang masih berbulir, masih harus menunggu raginya bekerja untuk menyatukan kedelainya. Bagaimana ini? Tempenya masih harus menunggu 1 hari lagi agar siap dijual.

Nenek itu terduduk lemas dan bergumam, bagaimana caranya hari ini dia mendapatkan uang untuk makan dan membeli kacang kedelai lagi untuk modal?

Di tengah kondisi yang membuatnya bingung tersebut, terbersit harapan di dadanya. Dia tahu, jika meminta kepada Allah Subhanahuwata’ala pasti tidak ada yang mustahil.

Maka, ditengadahkannya kepada seraya mengangkat kedua tangannya. Nenek itu pun berdoa : “Yaa Allah, hamba yakin Engkau tahu persoalan hamba. Hamba tahu Engkau pasti menyayangi hamba. Bantulah hamba Yaa Allah, jadikanlah kedelai ini menjadi tempe. Hanya kepada-Mu hamba serahkan nasib hamba.”

Di dalam hatinya muncul keyakinan, Allah pasti akan menolongnya.

Dengan perlahan dia bungkus kembali tempe-tempe tersebut. Tempenya terasa hangat, pertanda proses peragian masih berlangsung.

Dia buka kembali tempe itu, ternyata masih berupa kedelai yang berbulir, belum muncul kapas-kapas putih hasil peragian.

Dalam hatinya muncul rasa kecewa dan gundah gulana. Namun dia masih percaya Allah akan “memproses” doanya. Tempe itu akan jadi, begitu keyakinannya.

Dia pun memutuskan untuk tetap menjual tempe itu ke pasar. Sambil memasukkan tempe itu ke dalam keranjang ia pun berdoa kembali di dalam hati. “Yaa Allah, hamba tahu tak ada yang mustahil bagi-Mu. Tolonglah hamba Yaa Allah. Engkau tahu bahwa hamba membutuhkan uang dari hasil berjualan tempe ini. Karena itu Yaa Allah, buatlah kedelai itu jadi tempe dengan segera. Bantu hamba Yaa Allah.”

Setelah selesai memasukkan semua tempe ke keranjang, Nenek itu pun mengunci pintu lalu berjalan ke pasar. Sambil melangkah keluar Nenek itu berucap “Bismillahirrahmaanirrahiim.”

Sepanjang jalan Nenek itu tak putus-putusnya berdoa. Sesampai di pasar dia meletakkan keranjangnya dan kembali membuka sebungkus tempe. “Yaa Allah, ternyata masih belum jadi. “

Dengan sedih dia pun menggelar dagangannya pada sebuah meja pendek yang dia titipkan di depan sebuah toko kelontong.

Sambil menata tempe tersebut, dia bergumam di dalam hati : “ Aduh, siapa ya yang mau membeli tempe yang belum jadi seperti ini? Bentuknya saja masih ambyar.”

Tapi kegalauannya segera dia lawan dengan terus berdzikir dan bershalawat.

“Keajaiban Allah pasti akan datang..” dia terus meyakinkan dirinya.

Menjelang siang belum ada satu pun tempe yang laku terjual, karena semua orang mencari tempe yang sudah jadi untuk segera dimasak.

Hati Nenek itu pun mulai resah, air mata pun menitik di pipi keriputnya.

“Kenapa doaku tidak dikabulkan? Kenapa tempe ini tidak jadi…? Apakah Tuhan tak mau menolongku? Apa salahku?” Demikian batinnya berkecamuk.

Hatinya kian sedih,air matanya kian mengalir, karena hari ini dia belum mendapatkan sepeser uang pun untuk makan. Perutnya mulai terasa perih.

“Tuhan telah meninggalkan aku..”, batinnya.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur