BETAPA sempurnanya cahaya hati Khadijah, tatkala memperoleh karunia anak berkat pernikahannya dengan Nabi Muhammad, dirinya berkenan menambah lagi anggota keluarga, yaitu Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah.
Beratnya himpitan ekonomi memang tengah dipikul Abu Thalib dan Fatimah binti Asad dengan jumlah anak yang enam orang plus krisis yang tengah melanda. Dari itulah, dengan kelapangan hati Khadijah, Nabi Muhammad pun membawa Ali bin Abi Thalib ke rumah tangganya, ketika istri beliau juga mempersembahkan anak yang banyak pula.
Ibnu Hisyam dalam buku Sirah Nabawiyah (2019: 116) menceritakan, Rasulullah saw. berkata kepada Abbas, pamannya yang merupakan keluarga Bani Hasyim paling berpunya.
“Sesungguhnya Abu Thalib punya banyak anak. Masyarakat sedang dilanda krisis ekonomi. Mari kita bantu meringankan bebannya. Aku akan mengasuh satu anaknya dan engkau juga mengasuh satu anaknya. Dengan demikian kita meringankan beban dua anak darinya.”
Abbas berkata, “Baiklah.”
Keduanya menemui Abu Thalib dan berkata, “Kami ingin meringankan beban keluargamu sampai krisis yang melanda masyarakat berakhir.”
Abu Thalib berkata, “Boleh saja, asalkan kalian membiarkan Aqil tetap bersamaku.”
Selanjutnya, Rasulullah mengambil Ali dan membawanya, sedangkan Abbas mengambil Ja’far dan membawanya.
Dengan hati terbuka lebar, Khadijah menyambut kehadiran Ali bin Abi Thalib untuk turut menjadi anggota keluarga. Barangkali bagi dirinya faktor ekonomi tidaklah menjadi masalah, tetapi kehadiran bocah lelaki itu akan menambah pengeluaran energi ekstra bagi Khadijah yang akan berperan sebagai ibu bagi Ali bin Abi Thalib, selain tentunya tidak dapat mengabaikan pengasuhan dan pendidikan putra-putrinya.
Rasulullah dan Khadijah menjadi duet cinta yang demikian melimpah-ruah energi kasihnya, sehingga kehadiran Ali bin Abi Thalib bukanlah beban, melainkan keberkahan. Keluarga cinta yang dibangun bagaikan madrasah yang menciptakan bibit-biibit unggul peradaban.
Pengasuhan pasangan suami istri itu berbuah hasil menakjubkan, kemudian hari Ali bin Abi Thalib menjadi generasi pertama yang menjadi muslim dan menjelma sebagai mujahid sejati pembela agama Islam bahkan berhasil pula menjadi khalifah.
Begitulah suri teladan yang dikemukakan Khadijah perihal cara terindah bagi istri dalam menciptakan sakinah pada kehidupan suaminya. Sehingga Nabi Muhammad menemukan duet tepat dalam menciptakan tatanan rumah tangga impian.
Tidak berhenti sampai di sana, hati Khadijah makin lapang menambah lagi anggota keluarga tatkala Rasulullah memiliki visi luar biasa terkait Zaid bin Haritsah.
Ibnu Hisyam (2019: 117) mengungkapkan, alkisah Hakim bin Hizam bin Khuwailid datang dari Syam dengan membawa beberapa budak, termasuk Zaid bin Haritsah yang masih anak-anak. Bibi Hakim, yakni Khadijah binti Khuwailid, yang saat itu sudah menjadi pendamping Rasulullah, datang menemuinya.
Hakim bin Hizam berkata kepada Khadijah, “Bibi, pilihlah budak mana yang kausukai. Ia menjadi milikmu.”
Khadijah memilih Zaid.
Ketika melihatnya, Rasulullah meminta Zaid kepada Khadijah. Khadijah pun meluluskan permintaan itu. Rasulullah kemudian memerdekakan Zaid dan menjadikannya anak angkat. Ini terjadi sebelum beliau diangkat sebagai rasul.
Perkara Khadijah merelakan Zaid bin Haritsah untuk suaminya mungkin dapat dimaklumi dalam logika umum, bukankah dirinya perempuan tajir. Namun, ketika Nabi Muhammad memerdekakan Zaid bin Haritsah kemudian menjadikannya anak angkat, jelas di sini ada daya tarik dari pribadi Khadijah.
Seorang mantan budak dijadikan anak angkat menunjukkan kelapangan kasih yang terbentang di hati Khadijah, yang turut mengasuh Zaid layaknya anak kandung. Ini membuktikan pula betapa Khadijah benar-benar sefrekuensi dengan suaminya dalam memandang harkat martabat manusia secara hakiki.
Sekitar 15 tahun pernikahan dengan Khadijah, Nabi Muhammad tidak pernah memadunya dengan perempuan manapun, meski saat itu beliau hidup dalam tradisi masyarakat yang istri mereka bisa tak berbatas.
Pun setelah Khadijah meninggal dunia, atas nama menaati perintah Allah Swt. dan untuk kelancaran dakwah, maka Rasulullah menikah lagi beberapa kali. Tetapi, bibir sucinya tiada henti memuja Khadijah, mengenang cinta kasihnya, bahkan memuliakan sahabat-sahabat istrinya tersebut.
Dengan demikian, terbantahlah tudingan pihak yang menuduh Nabi Muhammad menikahi Khadijah atas dasar harta. Karena sepeninggal Khadijah, perempuan muda belia pun tidak dapat menggantikan
Khadijah yang tetap bertakhta di hati suci Rasulullah.
Lantas, apakah yang menjadi nilai lebih seorang Khadijah?
KOMENTAR ANDA