BARISAN pengunjuk rasa tua dan muda berbaris di Tunis, Tunisia (23/7/2022) menolak rancanganan konstitusi Presiden Kais Saied yang akan dipilih dalam referendum hari ini.
Pawai para pengunjuk rasa tersebut berada di bawah komando Aliansi Front Keselamatan Nasional dan berbagai kelompok oposisi. Di dalam barisan terdapat kelompok Warga Menentang Kudeta dan Ennahda, partai Islam terbesar dalam parlemen yang dibubarkan Presiden Saied.
Para demonstran menolak perubahan konstitusi presiden dan mengecam proses yang mereka sebut kudeta, yang ilegal dan tidak demokratis.
"Hentikan pemerintahan autokratis!"
"Akhiri kudeta!"
Demikian teriakan para pengunjuk rasa di Habib Bourguiba Avenue, jalan utama di pusat kota Tunis.
Sebagian besar dari demonstran ini pernah mengambil langkah yang sama di tahun 2011. Mereka terlibat dalam revolusi yang memaksa presiden saat itu, Zine Abbedine Ben Ali, turun dari jabatannya.
Banyak perempuan terlibat dalam aksi menolak referendum tersebut. Salah satunya, Amna Fehty, yang mengaku turun ke jalan demi memperjuangkan kebebasan dan demokrasi.
Menurut Amna, masyarakat Tunisia tidak akan bisa maju dan menjadi sebuah kekuatan yang dipandang dunia jika hidup di bawah kediktatoran.
"Saya tidak ingin melihat anak-anak kami hidup sebagai budak di bawah kepemimpinan seorang diktator," ujarnya, seperti dilansir Al Jazeera.
Ketegangan di Tunisia meningkat menjelang referendum. Banyak pihak khawatir rancangan konstitusi baru akan menjadi dasar dari sistem pemerintahan hiper-presidensial.
Referendum ini digelar satu tahun setelah Presiden Saied menangguhkan parlemen dan memecat jajaran pemerintah. Ia berdalih apa yang dilakukannya adalah memenuhi keinginan rakyat dan demi menyelamatkan rakyat dari jurang kehancuran.
Presiden kemudian memerintah di bawah kuasa dekrit dan telah mengubrak-abrik sejumlah lembaga negara termasuk Dewan Kehakiman Tertinggi. Adapun rancangan konstitusi baru telah diterbitkan sejak bulan lalu.
Konstitusi baru tersebut akan membatasi kekuasaan parlemen dan peradilan, serta mengabadikan kekuasaan Presiden Saied.
BBC melaporkan lebih dari 80% warga Tunisia telah mendaftar untuk memilih dalam referendum pada Senin 25 Juli. Pemungutan suara ini tentang demokrasi, juga tentang hak dan kebebasan.
Nejib Chebbi, Kepala Koalisi Anti-referendum, berjanji bahwa rakyat Tunisia akan memberikan pukulan telak bagi Presiden Saied karena mereka tidak tertarik dengan konstitusi baru yang dirancang sang penguasa.
Namun, perpecahan partai-partai politik dan organisasi masyarakat pengkritik Presiden Saied telah mempersulit oposisi untuk melancarkan sikap tegas.
Sebaliknya, langkah Presiden membubarkan parlemen dengan alasan kelumpuhan politik dan stagnasi ekonomi tampak mendapat dukungan luas. Banyak warga berpendapat Presiden Saied sangat mencintai rakyat Tunisia.
Bagaimanapun juga, bagi para demonstran 2011, rakyat Tunisia sudah muak dengan kesulitan ekonomi, korupsi politik, dan penguasa autokrat (diktator) yang menguasai mereka. Referendum ibarat tanda matinya sebuah mimpi untuk hidup demokratis.
Pertanyaannya, akankah gelombang revolusi 2011 yang dijuluki "Arab Spring" terulang lagi?
KOMENTAR ANDA