MARHABAN ya Muharram!
Tahun baru Islam 1444 H telah tiba. Sebagai seorang Muslim, kita sejatinya meresapi pergantian tahun Hijriah ini lebih dari sekadar pergantian angka dan pergantian hari.
Muharram seharusnya melecutkan semangat dan mengobarkan gairah dalam diri kita untuk memperbaiki diri. Setelah sebelumnya kita bermuhasabah, berintrospeksi atas segala khilaf dan kekeliruan yang kita perbuat di tahun kemarin. Mengingat kembali apa yang masih kurang dan masih salah.
Di tengah gelombang pandemi yang kembali menghantam, kita seharusnya sudah bisa lebih kuat. Sudah lebih piawai untuk memilah antara hoaks dan fakta. Sudah lebih paham tentang bagaimana menjaga diri, pun lebih mengerti bagaimana cara mengobati di kala terpapar.
Dua tahun sudah mengarungi gulungan ombak pandemi, kita hendaknya memiliki resolusi untuk menyelesaikan apa-apa yang tertunda selama ini.
Di sinilah Muharram bisa menjadi momentum terbaik untuk melecutkan semangat baru, terutama bagaimana untuk menjadi hamba terbaik yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya setiap hari.
Muharram Sebagai Awal Hijriah
Tentang awal mula tahun Hijriah, banyak dari umat Muslim mengetahui bahwa hal itu ditandai oleh kepindahan Nabi Muhammad saw. dari Mekkah menuju Madinah.
Beliau berpindah untuk membangun kehidupan yang lebih baik bersama para sahabat dan umat. Juga sebagai sikap tegas untuk menolak kezaliman yang mengakar di kota Mekkah.
Ihwal penanggalan kalender Hijriah, kita harus mengakui jasa sahabat nan pemberani sekaligus khalifah rasyidin ke-2, Umar bin Khattab.
Merujuk penjelasan pada laman resmi Majelis Ulama Indonesia, penanggalan Hijriah atau penanggalan qamariyah berpatokan pada rotasi bulan.
Dalam Islam, Muharram adalah bulan pertama di kalender Hijriah. Inilah bulan yang memiliki banyak keistimewaan bagi umat Islam.
Dalam buku Sejarah Pembentukan Kalender Hijriyah yang ditulis Ahmad Zarkasih (Rumah Fiqih, 2018), dikatakan bahwa penanggalan Hijriah yang dikenal oleh umat Islam saat ini ditetapkan di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Alasan utama penetapan kalender Hijriah adalah untuk kelancaran sistem kenegaraan kala itu.
Setelah berdiskusi, disepakatilah untuk mempunyai standarisasi penanggalan demi kemaslahatan umat. Namun, sejumlah orang berselisih paham tentang bagaimana menentukan tahun pertama penanggalan baru tersebut.
Ada yang mengusulkan tahun pertama adalah tahun Gajah, untuk memperingati tahun kelahiran Rasulullah. Ada yang mengusulkan tahun pertama adalah tahun wafatnya Nabi Muhammad saw.
Ada pula yang mengusulkan tahun pertama adalah tahun di saat Nabi Muhammad menerima wahyu pertama untuk diangkat sebagai Rasul. Dan tentu saja, ada yang mengusulkan tahun pertama berdasarkan saat hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Dari keempat usulan yang disodorkan, Khalifah Umar memutuskan untuk memulai penanggalan dari tahun saat hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah.
Terkait hal itu, Khalifah Umar telah berkonsultasi dengan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Opsi itu dipilih karena mereka pun masih berselisih tentang kapan tepatnya Nabi lahir dan kapan tepatnya wahyu pertama diturunkan.
Adapun tentang usulan penetapan tahun baru berdasarkan tahun wafatnya Nabi Muhammad, Khalifah Umar menolak tegas. Menurut Umar, tahun itu membawa banyak kesedihan di hati para sahabat dan umat.
Momen hijrah dari Mekkah ke Madinah dipilih Khalifah Umar untuk menjadi langkah pembeda antara yang haq dan yang bathil, sekaligus menjadi tonggak awal kejayaan Islam setelah sebelumnya hanya berkembang lewat dakwah secara sembunyi-sembunyi.
Khalifah Umar kemudian memilih Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriah. Alasan Umar, hijrah Rasulullah terjadi pada Rabi'ul Awwal namun awal mulai hijrah sudah terjadi sejak bulan Muharram.
KOMENTAR ANDA