LUAR biasa meriahnya muslimin Indonesia dalam merayakan Tahun Baru Islam yang tercermin pada semarak Muharam. Kemeriahan itu meliputi acara-acara nan gempita, seperti pawai taaruf, arak-arakan obor, pagelaran musik Islami hingga pengajian besar-besaran.
Namun, ada yang merayakannya dengan cara berbeda.
Tepat pada bulan Muharam keluarga itu pun memutuskan benar-benar hijrah, mereka pindah dari kota besar menuju kota kecil di pegunungan. Alasannya agar pindah rumah kali ini lebih berkah seiring dengan perayaan Tahun Baru Islam, yang spiritnya adalah hijrah Rasulullah beserta kaum Muhajirin dari Mekah ke Madinah.
Bukan hanya hijrah fisik berpindah tempat, melainkan keluarga itu juga hijrah secara mental, dari kondisi lingkungan yang sebelumnya buruk menuju tempat yang diharapkan lebih baik.
Tujuan pindah kali ini agar lebih menyehatkan pula bagi kondisi tubuh yang selama ini telah lelah bolak-balik ke dokter. Selain itu bisnis lebih mudah dikendalikan secara online, sehingga ketenangan hawa pegunungan amatlah mendukung perkembangan usaha.
Dari berbagai cara memeriahkan Tahun Baru Islam, pada dasarnya hakikat Muharam adalah hijrah. Inilah yang hendaknya menjadi landasan bagi siapapun yang merayakan. Tidak ada salahnya sih menggelar kemeriahan dalam acara keagamaan, akan tetapi jangan pernah mengabaikan yang hakikat.
Hal yang demikian sudah diperingatkan berabad-abad yang lampau oleh Rasulullah dalam hadisnya yang suci.
Syaikh Muhammad Musthafa Imarah dalam buku Jawahir Al-Bukhari (2002: 449) menerangkan:
Dari Umar bin Khattab, dari Nabi Muhammad, beliau bersabda, “Amal perbuatan itu tergantung pada niat dan bagian seseorang itu tergantung pada niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia, yang ia inginkan untuk mendapatkannya, atau kepada perempuan yang akan ia nikahi. Dengan demikian, hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.”
Barangsiapa yang meniati hijrahnya ditujukan kepada Allah serta mengerjakan amal salih, maka pahalanya terserah kepada-Nya. Dan barangsiapa yang meniati hijrahnya ditujukan kepada dunia atau seorang perempuan, maka ia akan mendapatkannya, tetapi di akhirat kelak ia tidak mendapatkan apa pun. Dan yang diperintahkan adalah mengerjakan segala sesuatu karena Allah.
Jadi begini, apabila kita hijrah demi bisnis yang lebih maju, untuk menikahi perempuan idaman, dalam rangka kenaikan pangkat dan yang lain sejenisnya, maka semua itu mungkin saja dapat diraih. Namun, belum tentu semua yang akhirnya berhasil digenggam itu mendapatkan keberkahan Ilahi.
Dari itulah Rasulullah mengingatkan pentingnya memancangkan niat yang benar di atas hijrah yang benar pula. Karena dengan niat karena Allah dan Rasulullah, maka yang diperoleh bukan hanya kegemilangan dunia tetapi tentunya limpahan pahala, yang membuat kita bahagia hingga negeri akhirat kelak.
Uniknya, hadis tentang niat berhijrah itu diriwayatkan oleh Umar bin Khattab dan kemudian hari Umar bin Khattab pula yang meresmikan kalender Hijriah yang menjadi Tahun Baru Islam yang dimulai dari bulan Muharam. Sang khalifah yang sukses mengantarkan negara Islam menjadi adikuasa dunia ini memang menginginkan Muharam menjadi tonggak berhijrah dalam makna yang hakiki.
Perayaan Muharam ini tampaknya bisa saja berlangsung lama, bisa sebulan penuh lho! Semoga saja dalam kemegahan berbagai jenis acara kita teguh mengingat pentingnya hakikat hijrah.
Ahzami Samiun Jazuli pada buku Hijrah Dalam Pandangan Al-Quran (2006: 23) menerangkan, hijrah tidak mengharuskan perpindahan secara fisik atau dari satu tempat ke tempat lain. Terkadang hijrah dilakukan dengan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat umum, tidak bergaul dengan para pelaku maksiat dan kemungkaran, menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk, dan meninggalkan para pembikin onar dan permusuhan.
Terkadang hijrah juga bisa dilakukan dengan meninggalkan akhlak yang buruk atau kebiasaan yang rendah atau meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjerumuskan manusia kepada kehinaan, segala sesuatu yang dapat menggelorakan syahwat dan nafsu, atau meninggalkan pembicaraan yang menjurus pada kemewahan-kemewahan duniawi.
Kita hendaknya mampu memancangkan niat yang lurus, berhijrah dari keburukan kepada kebaikan, pada berbagai lapisan kehidupan. Muharam inilah momentum untuk menggelorakan semangat berhijrah, tentunya dengan niat demi Allah dan Rasulullah.
KOMENTAR ANDA