TAWANYA berderai-derai. Raut wajahnya melukiskan kegembiraan yang meluap-luap. Gadis muda itu mengaku tengah dipayungi keberuntungan.
Layar ponsel dipamerkannya. Ternyata ada tawaran uang dalam jumlah besar. Tidak ada syarat yang berbelit-belit, cukup foto KTP lalu uang antah berantah meluncur mulus ke rekening.
Rekannya bertanya, “Bagaimana caramu mengembalikan uang itu?”
“Tidak tahu,” sahutnya ceria.
Rekannya berkata, “Kamu terkena jebakan pinjol.”
Malah tawanya yang makin berderai-derai.
Maka sampailah kita di suatu masa di mana mencari utang begitu teramat mudah. Di masa dahulu, betapa peningnya mencari pinjaman, sudah pergi kesana-kemari tetapi tidak kunjung menemukan tempat berutang.
Kini, di layar ponsel kita malah kebanjiran tawaran pinjaman dalam jumlah yang besar, tanpa agunan, tidak melalui proses berbelit, dan uangnya hadir sekejap mata bak sulap.
Bahkan kita yang sejatinya tidak butuh dana mendesak malah terus didesak untuk meminjam uang.
Modus barunya malah lebih ekstrim, tiba-tiba saja ada uang nyelonong masuk ke rekening, kemudian ada pihak yang mengklaim kita telah berutang padanya.
Tapi, tidak ada uang yang cuma-cuma dong!
Balik kepada kisah pembuka!
Kemudian hari gadis itu tidak bisa lagi tertawa berderai-derai. Dirinya malah malu muka. Entah bagaimana kejadiannya, pihak pemberi pinjaman online itu meneror nomor-nomor ponsel keluarganya, rekan-rekannya, atasannya dan juga calon suaminya.
Ajaibnya utang yang besar itu membengkak alang kepalang. Inilah utang yang bunganya bisa berbunga-bunga lagi, belum termasuk pula pinalti dan aneka macam denda. Sehingga utang yang mesti dilunasinya sudah sulit dinalar.
Gadis periang itu berubah jadi pemurung. Barulah dirinya sadar, di zaman begini ada orang-orang yang hidup dari memberi utang, ada pihak-pihak yang mencari kaya dengan cara mencekik leher orang lain dengan jeratan utang.
Perihal hukum utang mudah sekali menemukan kedudukannya dalam fikih Islam. Orang boleh berutang, dan pihak pemberi pinjaman malah mendapatkan sanjungan.
Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah Jilid 5 (2009: 236) memaparkan kejadian di mana Anas berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Pada malam ketika aku diisra’kan, aku melihat di pintu surga tertulis, ‘Sedekah akan dibalas dengan sepuluh kali lipat dan piutang akan dibalas dengan delapan belas kali lipat.’ Aku bertanya, ‘Wahai Jibril, mengapa piutang lebih utama daripada sedekah?’
Jibril menjawab, ‘Karena orang yang meminta, dia meminta dan dia memiliki sesuatu, sementara orang yang berhutang, dia tidak akan berhutang kecuali jika dia membutuhkan.” (HR. Ibnu Majah)
Adanya nilai kebajikan itulah yang mendasari bolehnya utang piutang, sehingga dalam kajian fikih Islam utang dibuatkan suatu istilah, yakni qardh.
Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah Jilid 5 (2009: 235) mengungkapkan:
Utang adalah harta yang diberikan oleh seseorang yang memberi utang kepada orang yang berhutang, agar orang yang berhutang mengembalikan barang yang serupa dengannya kepada orang yang memberi utang.
Secara bahasa, qardh mengandung arti pemotongan. Dan, harta yang diambil oleh orang yang berhutang disebut qardh karena orang yang memberi utang memotongnya dari hartanya.
Qardh merupakan salah satu bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebab, dengan memberikan uang (atau barang yang lain) berarti menyayangi manusia, mengasihi mereka, memudahkan urusan mereka, dan menghilangkan kesusahannya.
Islam menganjurkan dan menyarankannya bagi orang yang (berkecukupan) untuk memberi pinjaman.
KOMENTAR ANDA