KOMENTAR

TEMA jahiliah masih hangat untuk dibahas pada era modern ini; sebab kejahiliahan tampaknya sudah melampui zaman dan waktu. Dengan demikian agenda memerdekakan diri dari cengkraman jahiliah yang dikobarkan oleh Rasulullah tentunya perlu untuk diteruskan.

Secara umum jahiliah dipandang maknanya sebagai bodoh. Betulkah demikian?

Ya, memang secara bahasa jahiliah itu memang bodoh artinya.

Namun, interpretasi tentang makna inilah yang perlu diluruskan terlebih dahulu. Karena buktinya di masa Nabi Muhammad berdakwah di Mekah, orang-orang yang disebut jahiliah itu juga pintar-pintar lho!

Mereka adalah pebisnis handal yang punya jaringan niaga internasional. Tidak mungkin orang-orang bodoh bisa jadi pebisnis hebat kan? Mereka menguasai ilmu pengetahuan, di antaranya ilmu astronomi yang demikian bergengsi. Mereka juga kaum yang jago sastra, yang ada pementasan rutin di pasar Ukaz, bahkan syair-syair indah itu ditempel di Ka’bah.

Jadi bodohnya di mana dong?

Begini.

Di masa jahiliah itu, orang-orang menyembah patung-patung berhala, di antara mereka ada yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan (anak kandungnya sendiri). Orang-orang di masa jahiliah juga menindas kaum wanita dan menganiaya kaum yang lemah.

Tentang parahnya masa-masa jahiliah juga ditanyakan oleh Raja Najasyi saat menerima rombongan muslimin yang berhijrah ke negeri Habasyah di Afrika. Sang raja mendapatkan penjelasan mengharukan dari Ja’far bin Abu Thalib.

Ali Muhammad Ash-Shallabib dalam buku Negara Islam Modern (2017: 305) menceritakan:    

Ja’far bin Abu Thalib berkata, “Wahai paduka Raja, dulu kami kaum jahiliah; kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan-perbuatan keji, memutuskan silaturahim, bertindak buruk kepada tetangga, dan orang kuat di antara kami menindas orang lemah. Kami dalam kondisi demikian sampai Allah mengutus seorang Nabi kepada kami yang kami ketahui garis keturunannya, kejujurannya, amanahnya, dan kehormatan dirinya.”

Terlihat kejahiliahan itu berwujud pembodohan terhadap hati nurani, pembodohan terhadap akal sehat, dan pembodohan terhadap kebenaran hakiki tentang Ilahi.

Nah, yang semua jenis jahiliah itulah yang diperjuangkan oleh Rasulullah, yang ingin dimerdekakan dari segenap umat manusia. Inilah model kejahiliahan yang perlu terus diberantas sepanjang masa, demi meneruskan gerak juang Nabi Muhammad.

Era modern yang dipuja-puja kedahsyatannya ini bukan berarti kejahiliahan tidak beredar lho!

Kita hendaknya terus memerdekakan diri kemerosotan moral dan kerusakan etika. Kita mestilah teguh di jalan yang diridai Ilahi dan tidak menyimpang disebabkan godaan setan. Kita merdeka dengan mengedepankan akal sehat daripada kobaran hawa nafsu.  

Merdeka dari jahiliah modern apa maksudnya?

Azyumardi Azra dalam buku Transformasi Politik Islam (2016: 130-131) mengungkapkan:
Untuk menumpas jahiliah modern, menurut Qutb, masyarakat muslim harus melakukan taghyir al-aqliyyah, yakni perubahan fundamental dan radikal, bermula dari dasar kepercayaan moral dan etika. Dominasi (hakimiyyah) atas manusia harus dikendalikan semata-mata kepada Allah, tegasnya kepada Islam yeng merupakan sistem holistik.

Syariah bukan dalam pengertian sempit sebagai sistem hukum tetapi dalam pengertian lebih luas, yakni cara hidup menyeluruh yang telah digariskan Allah bagi kaum muslim, sejak dari nilai-nilai keagamaan, sampai kepada adat dan kebiasaan, dan norma sosial yang membentuk kehidupan manusia.

Makin modern zamannya, kian canggih model kejahatan yang beredar. Nah, itu bagian dari kejahiliahan yang hendaknya diberantas. Kian maju ilmu pengetahuan dan teknologi, jangan sampai membuat manusia congkak lalu mengingkari kuasa Ilahi. Sebab kesombongan juga bagain dari invasi setan menyebar kejahiliahan.

Intinya setiap muslim harus meraih kemerdekaan yang hakiki, dengan berpegang pada fitrah sucinya.
Seiring dengan perayaan HUT kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77 ini; hendaknya menjadi spirit bagi kaum muslimin dalam menggelorakan semangat merdeka dari kejahiliahan.

Merdeka bukan berarti terbebas sepenuhnya dari penjajahan. Karena penjajahan secara fisik mungkin tidak ada lagi, tidak ada toh bangsa asing yang menguasai negeri tercinta ini.

Namun, bukan berarti segalanya menjadi aman-aman belaka. Sebab penjajahan mental dapat saja terjadi, terkhusus yang berhubungan dengan kejahiliahan. Itu artinya perayaan hari kemerdekaan ini makin bermakna apabila ada agenda suci yang terus kita semangati ya!
    

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur