RIBUT-ribut terkait hak asuh anak cukup sering menggemparkan, apalagi kalau yang lagi rebutan itu adalah pesohor publik. Situasi makin memanas tatkala warganet turut serta menggelontorkan beragam komentar.
Padahal episode rebutan hak asuh anak itu punya sisi positif yang patut diapreasiasi. Bayangkan andai yang terjadi adalah saling menolak hak asuh anak, jelaslah akan ada bocah tak berdaya yang akan terlantar hidupnya.
Namun, ribut-ribut perihal pengasuhan anak bisa berujung petaka apabila tidak dalam koridor yang sehat. Nah, demi menghindari hal-hal yang merusak, di sinilah penting sekali ditelaah lebih mendalam kajian fikih perihal hadanah.
Abdul Gani Abdullah pada buku Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (1994: 78) menguraikan:
Bab I. Ketentuan Umum Pasal 1g: Pemeliharaan anak atau hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.
Syukurlah Republik Indonesia menyediakan lembaga pengadilan agama, yang mana bertugas mengurusi berbagai kepentingan umat Islam. Terkait hadanah agama Islam memang telah membuat keputusan normatif yang teramat baik. Dan dengan keberadaan pengadilan agama, hadanah itu dijalankan lebih terperinci lagi; tentang siapa yang mendapatkan hak asuh, berapa nafkah dari sang ayah untuk anaknya, dan lain-lainnya.
Abdul Rahman Ghazaly dalam buku Fiqh Munakahat (2019: 141) menerangkan, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut:
Pasal 105. Dalam Hal Terjadinya Perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Lebih lanjut Abdul Aziz Salim Basyarahil pada buku Janda (1999: 77) menguraikan:
Para ulama sepakat hadanah ‘pemeliharaan anak’ merupakan tanggung jawab ayah, tetapi yang paling berhak adalah ibu si anak tersebut selama ia belum menikah lagi. Jika ibu si anak tersebut telah menikah maka sebagian ulama berpendapat bahwa yang paling berhak terhadap si anak adalah ayahnya.
Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hak istri atas pengasuhan anak tidak hilang apabila ia menikah dengan laki-laki lain. Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Usman bin Affan. Mereka berargumentasi dengan tetapnya putra Ummu Salamah berada di bawah asuhannya setelah ia menikah dengan Nabi saw.
Dalam pelaksanaan ketentuan agama dan aturan negara yang berhubungan dengan hadanah, memang cukup rawan terjadinya perselisihan hingga percekcokan. Akan ada silang pendapat yang membuat hadanah malah menjadi aksi rebutan yang tidak baik bagi perkembangan mental anak.
Negara Indonesia ini memiliki lembaga pengadilan agama yang berperan sebagai pengadil antara suami istri yang berpisah, termasuk itu yang berhubungan dengan hak pengasuhan anak.
Keberadaan pengadilan agama ini tentunya amatlah membantu menjernihkan sengketa suami istri. Karena ada hakim yang berperan sebagai penengah dan memastikan hak pengasuhan anak itu berlangsung dengan baik.
Dengan kapasitas ilmu dan kearifan yang dimilikinya hakim dapat memutuskan kepada siapa hak anak asuh diberikan. Dan adakalanya hakim menyatakan hak asuh anak malah menjadi milik suami, disebabkan hakim menilai suami yang paling siap bertanggung jawab atas pengasuhan tersebut atau dikarenakan kondisi istri yang tidak memungkinkan. Situasi dan kondisi yang berbeda membuat lahirnya putusan yang berbeda pula.
Di sini masyarakat tidak perlu cemas dengan potensi terjadinya anak-anak terlantar pasca perceraian, dikarenakan hakim akan berijtihad memutuskan pengasuhan anak-anak kepada yang paling siap tentunya.
Suami istri dan keluarga serta masyarakat hendaknya menerima putusan dengan lapang dada. Lagi pula ditetapkannya putusan tentang hak asuh anak bukan berarti terputus semua hubungan, suami atau istri tetap bisa berinteraksi dengan anaknya. Istri pun tidak perlu cemas bila hak asuh jatuh ke tangannya, sebab suami tetap bertanggung jawab menafkahi darah dagingnya itu.
Pada kondisi tertentu, tidak memungkinkan bagi seorang ibu menerima hak hadanah anaknya sendiri. Dalam keadaan yang tak terelakkan, bisa jadi ayah dan ibu tidak sanggup menjalankan amanah hadanah, semisal kematian dan kasus lainnya.
Kondisi yang demikian jangan sampai membuat anak-anak menjadi terlantar. Lagi pula ada pihak-pihak lain yang juga dapat mengemban hak asuh atau hadanah tersebut.
Abdul Rahman Ghazaly (2019: 135) menguraikan:
Jika tidak ada yang akan melakukan hadanah pada tingkat perempuan maka yang melakukan hadanah ialah pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki juga tidak ada, maka kewajiban melakukan hadanah itu merupakan kewajiban pemerintah.
Dasar urutan orang-orang yang berhak melakukan hadanah ialah:
1. Kerabat pihak ibu didahulukan atas kerabat pihak bapak jika tingkatannya sama.
2. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak dibanding dengan saudara perempuan.
3. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan atas kerabat seayah.
4. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada tingkat yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak bapak.
5. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada, maka hak hadanah pindah kepada kerabat yang tidak ada hubungan mahram.
Kalau mau lebih mudah hitung-hitungannya dan jika ingin tidak ribut-ribut, maka pengadilan agama adalah lembaga yang tepat untuk menyelesaikan sengketa hak asuh anak. Di sana berbagai pihak yang berkaitan dengan hadanah dapat memperoleh putusan yang hendaknya diterima dengan lapang dada.
KOMENTAR ANDA