Dua anak di Jalur Gaza saling menguatkan/ Net
Dua anak di Jalur Gaza saling menguatkan/ Net
KOMENTAR

JOUMAN Abdu, gadis kecil berusia 8 tahun itu berbaring di sofa dengan mengenakan headphone dan penutup mata saat rudal Isrel mulai mendarat di Gaza pada awal Agustus.

Itu adalah 'ritual' yang lakukan demi menghindari dentuman keras kaca yang pecah dan bangunan yang hancur berantakan, akibat ledakan yang terjadi lagi dan lagi sepanjang 15 bulan terakhir.

Jouman hanyalah satu dari sekian banyak anak-anak Gaza dengan luka yang belum sembuh namun terkoyak kembali.

“Seorang anak berusia 15 tahun yang hidup di Gaza telah melalui lima konflik yang berbeda,” ungkap Lucia Elmi, perwakilan khusus UNICEF, di Palestina.

Israel bulan ini meluncurkan serangkaian serangan udara terhadap gerakan Jihad Islam di Gaza, sebagai tanggapan atas apa yang dikatakan otoritas Israel sebagai ancaman nyata yang disusul penangkapan salah satu pemimpin seniornya.

Pihak militer Israel mengatakan sulit bagi warga Palestina maupun Israel yang tinggal di sepanjang jalur Gaza. Mereka menyatakan "berupaya keras untuk mengurangi kerusakan terhadap warga sipil dan properti masyarakat sipil". Namun realitasnya sungguh mengenaskan.

Sedikitnya 49 orang, termasuk 17 anak-anak, tewas dan lebih dari 360 orang, di antaranya 151 anak-anak dan remaja, terluka, kata pejabat kesehatan Gaza, sebelum kedua pihak menyepakati gencatan senjata yang ditengahi Mesir.

Trauma yang Nyata

Populasi anak-anak tercatat setengah dari 2,3 juta penduduk Palestina di Gaza.

Tidak ada tempat perlindungan yang aman di jalur itu, di mana pejabat Palestina dan organisasi kemanusiaan internasional telah memperingatkan bahwa sistem perawatan kesehatan berada di ambang kehancuran.

Sebuah laporan dari kelompok Save the Children pada Juni 2022 menemukan bahwa kesejahteraan psikososial anak-anak di Gaza berada pada "tingkat yang sangat rendah" berdasarkan survei terhadap 488 anak serta 160 orangtua dan pengasuh.

"Satu dari dua anak di Gaza membutuhkan pengobatan kesehatan mental dan dukungan psikososial," ujar Elmi.

Kondisi tersebut sudah berlangsung sejak Mei 2021, ketika 11 hari pertempuran antara Israel dan Hamas menyebabkan 250 warga Palestina di Gaza dan 13 orang di Israel tewas. Pertempuran yang mengarah pada efek kumulatif trauma jangka panjang bagi anak-anak.

Studi di Israel selama bertahun-tahun menyebutkan bahwa anak-anak di bawah paparan pemboman yang terjadi terus-menerus akan mengalami tingkat stres yang tinggi. Dan di daerah sekitar Gaza, tingkat kecemasannya menjadi sangat tinggi.

Di Gaza, Palestina tidak memiliki tempat perlindungan bom atau sistem pertahanan rudal seperti yang dimiliki Israel. Akses ke layanan kesehatan terbatas, pergerakan sangat dibatasi, dan luka psikologis sangat mendalam.

Trauma 'Berkelanjutan'

Sebuah studi tahun 2015 yang disusun organisasi non-pemerintah Physicians for Human Rights–Israel menemukan bahwa harapan hidup rata-rata di antara orang-orang Palestina di wilayah-wilayah pendudukan adalah 10 tahun lebih sedikit daripada orang-orang Israel karena perbedaan yang signifikan dalam kondisi kesehatan—ditambah kesenjangan yang semakin meningkat.

Orangtua dan pengasuh, banyak yang sudah berada dalam kemiskinan karena ekonomi Gaza yang hancur.

Dr. Sam Owaida, seorang psikiater dari Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza, mengatakan ada beragam efek pada anak-anak akibat pertempuran yang berulang-ulang.

Mulai dari menolak untuk meninggalkan rumah dan menempel pada orangtua hingga kesulitan berbicara, mudah mengompol, dan gangguan tidur.

"Di Gaza, tidak ada yang namanya pasca-trauma, trauma itu terus-menerus," katanya.

UNICEF bekerja sama dengan sejumlah mitra untuk meningkatkan layanan konseling di jalur Gaza.

Tinjauan kebutuhan kemanusiaan pada Desember 2021 oleh Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB menetapkan bahwa kekurangan yang ada dalam personel khusus dan obat-obatan di Gaza diperparah oleh COVID-19. Dan tahun lalu, banyak pekerja garis depan sudah sangat kewalahan atau sudah tak mampu bekerja lagi.

Bagi Najla Shawa, seorang pekerja kemanusiaan dan ibu dari dua anak di Gaza, babak baru pertempuran ini sangat mengkhawatirkan orangtua meskipun durasinya relatif singkat. Ia sekuat tenaga menghibur anak-anaknya.




Firdila Sari: Perubahan Tidak Menunggu Kesiapan Kita

Sebelumnya

Komnas Perempuan Pastikan Proses Hukum Kasus Pelecehan Seksual di Mataram Berjalan Adil

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News