USTAZAH tarkam!
Demikanlah rekan-rekan menjuluki dirinya. Ini suatu ungkapan mengandung usur satire, yang menyindir atau malah mencemooh. Lantar apa sih tarkam itu?
Tarkam adalah antarkampung.
Ya, perempuan itu sibuk mengisi pengajian dari kampung ke kampung, beredar dari suatu majlis taklim ke majlis taklim lainnya. Hidupnya untuk membina umat khususnya emak-emak.
Kendati dalam sehari bisa menyampaikan pengajian berkali-kali, kehidupan sang ustazah masih memprihatinkan. Suaminya yang berprofesi sebagai ustaz, yang tarkam pula, membuat keluarganya hidup superirit.
Sahabat baiknya yang bersimpati menawarkan posisi mentereng di perusahaan miliknya. Rekan-rekan yang lain pun mendorong agar ustazah itu menerima posisi yang akan memberinya profesi enak plus gaji yang berlimpah.
Tidak lupa pula mereka mengenang masa muda sang ustazah, yang senantiasa ranking pertama karena otak yang cemerlang; rumahnya disesaki berbagai piala dan medali atas berbagai prestasi yang diraihnya. Belum lagi jabatan ketua di berbagai organisasi yang kian memperteguh kualitas dirinya sebagai pemimpin harapan masa depan.
Namun, siapa yang sangka justru roda nasib malah mengantarnya hanya jadi ustazah tarkam. Sungguh di luar ekpektasi banyak orang!
“Maaf, tapi saya mencintai pekerjaan ini,” ujarnya saat menolak tawaran profesi yang menggiurkan, padahal suaminya sudah mempersilahkan untuk meraih jabatan itu.
Cerita upaya mencintai profesi terkadang cukup rumit mengingat bekerja itu menguras pemikiran, perasaan dan juga tenaga yang luar biasa. Sehingga beban yang memang sudah berat itu akan kian sulit dilalui bila tanpa cinta.
Gaji yang besar plus aneka macam fasilitas mewah belum tentu jaminan mekarnya cinta terhadap profesi yang dijalani. Lha, cinta kan perkara hati!
Cinta meman tidak dapat dibeli. Namun, jangan lupa cinta pun dapat ditumbuhkan.
Demikian pun pula cinta terhadap profesi bisa ditumbuhkan melalui suatu proses kesadaran. Cinta yang agung itu muncul dari pondasi yang kokoh.
Apakah itu?
Setiap profesi memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia; guru mencerdaskan bangsa, petani menyediakan bahan makanan, tukang sapu menjaga kebersihan, sopir berjasa dalam transportasi, pedagang menggerakkan ekonomi dan lain sebagainya.
Kita dapat menghargai diri sendiri dengan menemukan manfaat dan juga keberkahan dari apa yang tengah dilakukan. Dengan begitu pula, insyaallah secara berangsur-angsur rasa cita itu akan berakar lalu bertunas hingga mekar dengan indahnya.
Siapa yang mencintai profesinya maka dia telah membuktikan cinta terhadap dirinya sendiri.
Memang sih, terbuka opsi berpindah-pindah profesi. Kita dapat saja berganti pekerjaan agar menemukan profesi yang dicintai. Boleh-boleh saja sih!
Akan tetapi, harapan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab manusia seringkali mematok harapan jauh melampaui kenyataan. Hal yang demikianlah acap kali membuat profesi itu makin sulit dicintai.
Harapan yang meletup-letup tersebut membuat bermunculan rentetan kekecewaan; entah itu gaji yang belum memadai, beban kerja yang berat, jarak yang jauh, kemacetan kian parah, rekan kerja menyebalkan, atasan galak dan banyak lainnya.
Kalaupun kita memperoleh pekerjaan yang selaras dengan hobi atau kesukaan belum juga menjamin cinta itu tumbuh. Sebab, sekali lagi cinta perkara hati. Dan tugas manusia adalah menata hatinya sendiri, sesuatu yang tidaklah mudah meski tidak pula mustahil.
Pada masa Rasulullah, tersebutlah Ummu Mahjan yang tidak terkenal, yang tidak dianggap keberadaannya, yang profesinya tidaklah keren. Namun, dari apa yang dikerjakan perempuan hitam tersebut justru berguna bagi dalam proses mencintai profesinya.
Muhammad Shidiq Hasan Khan dalam Ensiklopedia Hadis Sahih (2009: 134) mengutip sebuah hadis:
Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabir dari Ibnu Abbas bahwa pada suatu ketika seorang wanita yang membersihkan kotoran dari masjid meninggal dunia. Rasulullah saw. tidak diberi tahu perihal penguburannya.
KOMENTAR ANDA