SETIBANYA di kampung halaman suami, perempuan muda itu terkaget-kaget. Ternyata desa itu berada di tengah kepungan lebatnya hutan belantara. Dan yang lebih seru lagi, suami mengajaknya untuk menginap di rumah leluhurnya di suatu tempat terpencil di tengah keheningan hutan.
Tengah malam dia terbangun, mendengar ada suara-suara gesekan di dinding rumah. Berhubung orang-orang pada cuek, dia pun melanjutkan tidur lelapnya.
Bangun pagi ketika hendak mandi di sungai, perempuan itu merasa ada yang aneh, melihat beberapa bulu menempel di dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Orang-orang berkata dengan santai, “Oh, itu bulu harimau!”
Rupanya tadi malam binatang itulah yang bergesek-gesekan dengan dinding rumah. Namun, berhubung penduduk setempat santai-santai saja, perempuan itu pun tidak memperpanjang cerita. Dia asyik menikmati mandi di sungai nan bening menyegarkan.
Keanehan berikutnya, dia melihat suaminya ikut berebutan kotoran musang atau luwak. Sesuatu yang membuat perutnya mual. Karena orang-orang di sana tampak bergembira, lagi-lagi perempuan itu pun tidak banyak tanya.
Kemudian kegembiraan dirinya membuncah tatkala menikmati panorama pegunungan sambil minum kopi. Belum pernah dirasakannya kopi senikmat ini.
“Enak sekali kopinya!”
“Kopi luwak,” sahut suaminya.
“Asli lho!” sambungnya.
Perempuan yang terlanjur banyak minum kopi itu terheran-heran dan bertanya, “Apa maksudnya?”
Maka meluncurlah kisah yang mengagetkan, musang atau luwak memakan biji-biji kopi, setelah melalui pencernaan hewan itu dan kemudian dibuang bersama tinjanya, maka biji-biji itu diperebutkan oleh penduduk desa. Mereka pun mengolahnya lalu membuat kopi luwak yang asli.
Maka perempuan muda itu pun terdiam mematung, memandang nanar sisa kopi di tangannya.
Suaminya berkata, “Jadi mau dibawa berapa nanti ke Jakarta?”
Ya, perempuan itu sedari tadi telah memesan kopi tersebut, tetapi pikirannya galau setelah tahu kopi luwak ini berasal dari pencernaan musang, bahkan dikeluarkan bersama tinjanya.
“Apakah halal?” tanyanya.
“Lho kok?” suaminya balik bertanya heran. Karena mereka menyantap kopi macam itu secara turun temurun hingga menjadi tradisi. Giliran ditanyakan kehalalannya mereka pun kebingungan.
Asmak Afriliana dalam bukunya Teknologi Pengolahan Kopi Terkini (2018: 21-22) menguraikan:
Kopi luwak dikenal banyak masyarakat di dunia dikarenakan proses pembentukannya yang unik sehingga kopi luwak kerap disebut sebagai subvarietas yang baru dari kopi. Keunikannya berasal dari biji kopi yang telah dimakan oleh musang kelapa Asia/luwak (Paradoxurus hermaphroditus) dan kerabat musang lainnya.
Biji kopi yang dimakan oleh musang tersebut secara alami akan difermentasikan di dalam oragan pencernaannya. Selanjutnya, biji kopi di-eksresi melalui kotoran musang yang tetap mengandung biji kopi utuh yang berwarna lebih gelap dan lebih rapuh.
Kopi yang dihasilkan beraroma sedap dan tidak terlalu pahit. Kopi luwak menjadi lebih istimewa karena luwak hanya mencari buah kopi yang 90% matang dengan menggunakan daya penciumannya yang tajam. Dalam satu pohon kopi, hanya 1-2 butir buah saja yang dimakan, yakni buah dengan kematangan tertinggi.
Keterangan di atas sudah menerangkan sebab musabab yang membuat kopi luwak unggul; karena memang dipetik langsung oleh musang dari kopi terbaik level kematangannya; proses fermentasi di pencernaan musang pun membuat pahitnya kopi berkurang.
Beruntunglah kita yang bermukim di Indonesia, yang mana musang-musangnya masih rajin menelan biji-biji kopi terbaik. Mungkin yang kurang beruntung itu adalah musang-musang yang dikandangkan atau diternakkan, lalu setiap hari terpaksa menyantap banyak kopi untuk diambil lagi dari tinjanya.
Hanya saja, bagi penikmat kopi yang muslim, tentunya pembahasan kopi luwak tidak cukup perkara enaknya saja. Ada faktor kehalalan yang perlu dicermati lebih seksama, karena toh biji kopi itu berbaur dengan tinja musang yang najis.
Didik Indradewa dalam buku Etnoagronomi Indonesia (2021: 514) menguraikan:
Di Indonesia, kopi luwak sempat menjadi perbincangan apakah halal atau haram bagi umat Islam karena dihasilkan dari biji yang berbalur kotoran luwak. Setelah banyaknya kontroversi yang ada, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons hal tersebut dengan mengeluarkan fatwa menyangkut berbagai aktivitas yang bersangkutan dengan memproduksi, menjual maupun mengonsumsi kopi luwak.
Kopi luwak, menurut MUI, adalah mutanajjis atau barang yang terkena najis. Kopi luwak bukan najis jika memenuhi dua syarat, yaitu jika biji kopi masih utuh terbungkus kulit atau yang biasa disebut kulit tanduk dan masih bisa tumbuh apabila biji tersebut ditanam.
KOMENTAR ANDA