BELAKANGAN, sedang tren istilah Quiet Quitting. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Zaid Khan dalam akun tiktoknya @zaidleppelin, yang merupakan bentuk reaksi atas jam kerja yang kacau saat lockdown covid-19, yang membuat para karyawan di Amerika merasakan ‘burn out’, karena mereka merasakan jam kerja yang lebih panjang dan bobot kerja yang lebih berat.
Video yang diunggahnya pada bulan Juli 2022 tersebut, setidaknya sudah ditonton lebih dari 3 juta kali. Dalam video tersebut Zaid Khan mengatakan bahwa
“Quiet Quitting bukanlah berhenti dari pekerjaanmu, namun keluar dari gagasan untuk going above and beyond at work,” ujarnya.
Quiet Quitting secara harfiah artinya adalah berhenti diam-diam. Dilansir dari New York Post, konsep ini awalnya berasal dari gerakan di China tahun lalu, yaitu lying flat atau tang ping, yaitu fenomena gelombang pekerja muda di China yang memberontak terhadap konsep jam kerja yang panjang dan sulit.
Hal ini kontras dengan budaya ‘hustle culture’ atau budaya kerja keras yang mendorong diri sendiri untuk bekerja melewati batas kemampuan untuk memenuhi tujuan kapitalis seperti kekayaan, kemakmuran dan kesuksesan secepat mungkin, yang umumnya terjadi pada kalangan anak muda.
Budaya Hustle Culture mendorong karyawan untuk bergerak dan bekerja lebih cepat secara agresif dan bekerja lebih dari waktu normal. Budaya ini menuntut karyawan menyelesaikan satu pekerjaan sesuai target, dan tak jarang memaksa mereka untuk meningkatkan performa kerja dengan bekerja lebih cepat lagi dari ritme yang sebelumnya. Hal ini seringkali membuat mereka tetap memikirkan pekerjaan di waktu santai atau istirahat seperti akhir pekan. Budaya kerja seperti ini seolah diglorifikasi dan dianggap sebagai sebuah pencapaian kerja yang positif.
Buat sebagian orang yang sudah terjebak dalam budaya ini nyaris tidak punya waktu beristirahat dan bercengkrama bersama keluarga. Seringkali karyawan menjadi mudah stress dan tertekan.
Quiet Quitting berusaha mendobrak budaya tersebut. Dengan menerapkan Quiet Quitting para karyawan bekerja sesuai dengan jam kerja dan segera menghentikannya saat jam kerja berakhir. Mereka menolak bekerja lebih keras bahkan menolak untuk dipromosikan agar tidak menambah bobot pekerjaan mereka. Mereka juga menolak lembur apabila bayarannya tidak sesuai.
Mereka lebih memilih bekerja sesuai dengan kapasitas dan dengan bayaran yang secukupnya, daripada memperoleh penghasilan yang tinggi namun menyita waktu mereka. Tak jarang mereka juga mematikan handphone atau alat komunikasi ketika waktu libut. Metode ini dianggap dapat membuat mereka memperoleh worklife balance, memiliki waktu untuk diri sendiri dan keluarga.
KOMENTAR ANDA