Novalia berharap vaksin temuannya bisa digunakan di Indonesia/ Net
Novalia berharap vaksin temuannya bisa digunakan di Indonesia/ Net
KOMENTAR

SATU lagi peneliti Indonesia yang berhasil membuat terobosan di dunia internasional. Dialah Novalia Pishesha, peneliti junior di Society of Fellows Universitas Harvard yang berkantor di Rumah Sakit Anak Boston yang juga alumnus Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat.

Novalia baru saja menerima penghargaan 32 Wonderful People dari Guardian (31/8/2022). Sementara di kancah internasional, namanya masuk daftar 35 inovator Asia Pasifik berusia di bawah 35 tahun versi MIT Technology Review.

Novalia menerbitkan jurnal ilmiah tentang kandidat vaksin COVID-19 berbasis protein dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) pada November 2021.

Jurnal itu adalah hasil penelitian Novalia bersama koleganya, Hidde Ploegh dan Thibault Harmand yang dimulai sejak April 2020. Ia tertarik menggunakan teknologi nanobodi untuk vaksin, yang sebelumnya ia kembangkan untuk pengobatan penyakit autoimun.

Vaksin yang dibuat Novalia mengandung dua komponen dasar yaitu nanobodi dan bagian dari paku protein virus SARS-CoV-2. Penelitian itu menggunakan sekuens asli dari virus asal Wuhan. Hasilnya, objek penelitian 100 persen terlindungi.

Kandidat vaksin tersebut juga ampuh menghadapi varian virus lain termasuk varian asal Afrika Selatan yang sempat mewabah di banyak negara. Novalia pun optimis bahwa vaksinnya ampuh menghadapi varian Delta.

"Vaksin kami memicu respons imun yang sangat kuat—ditambah respons T-cell di area yang terkonservasi, kami cukup yakin vaksin ini memberikan perlindungan terhadap Delta," ujarnya, seperti dilaporkan VOA.

Vaksin berbasis protein itu menurut Novalia punya sejumlah kelebihan. Selain lebih mudah dibuat, juga lebih mudah didistribusikan. Bisa dikeringkan (dilyophilized-pengeringan beku) sehingga ringan untuk dibawa ke mana pun. Bahkan tidak masalah jika ditinggal di suhu ruangan selama satu hingga dua minggu.

Novalia berharap tahap pengujian selanjutnya bisa dilakukan di Indonesia. Ia memang sengaja mengembangkan vaksin berbasis protein agar mudah diproduksi di Indonesia yang sudah akrab dengan manufaktur vaksin berbasis protein.

Hasil penelitian Novalia diapresiasi Kementerian Kesehatan RI. Dengan ketua peneliti orang Indonesia, transfer teknologi akan lebih mudah dilakukan. Menkes Budi Gunadi Sadikin juga telah bertemu Novalia pada Oktober lalu.

Novalia menamatkan SMA di Malang, Jawa Timur. Sejak lama, ia memang ingin menguasai ilmu yang bisa membantunya menolong orang sakit. Ia melihat beberapa orang terdekatnya meninggal tiba-tiba saat sakit, tanpa ada diagnosis yang jelas. Lupus adalah salah satu penyakit autoimun yang mendapat perhatiannya.

Sempat kuliah di fakultas kedokteran, Novalia akhirnya memilih mundur. Ia kemudian merantau ke Amerika, berkuliah di City College of San Francisco, University of California at Berkeley, lalu meraih gelar Ph.D di MIT bidang rekayasa hayati di tahun 2018.

Berawal dari penelitian rekayasa sel darah merah saat di MIT, Novalia mendaftarkan hak paten yang kemudian berkembang menjadi perusahaan bioteknologi yang telah go public.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women