Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MEMANG tidak akan pernah mudah menjadi seorang bawahan, apalagi kalau berhadap-hadapan dengan kepentingan atasan, maka makin tidak berkutiklah dirinya; bohong salah, jujur malah tambah salah!

Insiden penembakan yang mengguncang bangsa belakangan ini hendaknya jangan sekadar menjadi kehebohan belaka. Kita perlu memetik sebanyak mungkin mutiara hikmah, yang salah satunya adalah; tegak di tengah badai.

Dan setelah melalui proses yang berlika-liku, akhirnya sang bawahan mau juga menyingkap suatu rahasia besar dan drama yang dirancang terlalu manis itu pun akhirnya ambyar. Skenario yang dikarang-karang itu gagal membungkus bau busuk dari suatu pembunuhan keji.

Astagfirullah!

Patutlah diapresiasi setinggi-tingginya kejujuran sang bawahan. Dan rakyat di negara ini dapatlah menarik napas lega, suatu kejujuran telah menenangkan satu negara. Jujur itu memang mahal.

Jangan pernah mengabaikan Al-Qur’an, karena pada kitab suci itu juga terhampar kisah manis perihal tersingkapnya suatu pembunuhan keji dengan cara nan ajaib. Begini ceritanya:

Mestinya bapak-bapak itu meraih kehidupan yang sempurna. Dirinya kaya raya berlimpah harta. Putri tercintanya cantik jelita yang menjadi idola para pemuda. Banyak orang dari kalangan Bani Israil mengharapkan punya kehidupan demikian menawan.

Siapa sangka kelebihan itu berujung petaka. Di suatu hari orang-orang terperanjat melihat mayat bapak-bapak itu malah terbujur kaku. Jelas dirinya adalah korban pembunuhan. Padahal dia orang baik, kok bisa dihabisi dengan cara demikian keji?

Ponakan si mayat marah besar dan melempar tuduhan kesana-sini. Pihak yang dituduh murka sehingga nyaris terjadi pertumpahan darah. Akhirnya mereka meminta Nabi Musa menyelesaikan sengketa pembunuhan ini.

Alangkah beratnya tugas Nabi Musa menemukan pelaku pembunuhan tetapi tidak ada saksi. Sementara itu ketegangan dalam masyarakat kian memanas dan dikhawatirkan dapat berujung pertikaian massal.

Petunjuk Allah Swt. pun datang, demi menyingkap misteri pembunuhan maka disembelih seekor sapi istimewa. Setelah itu tersingkaplah berbagai kejutan yang insyaallah memberikan banyak hikmah.

Bey Arifin dalam buku Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an (1987: 196) menceritakan:
Setelah sapi itu mereka beli lalu disembelih dan lidahnya segera diambil oleh Nabi Musa. Setelah kuburannya dibongkar, mayat itu lalu dipukul oleh Nabi Musa dengan lidah sapi dan ternyata hidup kembali. Lalu ditanyakan siapa yang membunuhnya. Mayat itu mengatakan, bahwa pembunuhnya adalah yang datang mengadu kepada Nabi Musa.

Entah yang mana paling mengejutkan; apakah mayat yang bisa hidup kembali ataukah pelaku pembunuhan yang justru pemuda yang berkoar-koar menuduh pihak lain?

Usut punya usut, terbongkarlah motif pembunuhan, pemuda yang masih kerabat korban ingin menang banyak, dengan membunuh bapak-bapak itu dia akan menguasai hartanya dan sekaligus menikahi putrinya yang cantik jelita.

Hampir saja kekejaman itu terkubur dalam-dalam, tetapi siapa pula yang dapat menghalangi ketika Tuhan berkehendak.

Begitulah, kebenaran itu disingkap oleh Ilahi melalui kejujuran seorang mayat yang dapat hidup kembali. Hanya untuk menyampaikan suatu kejujuran mayat itu dihidupkan, lalu kemudian kembali meninggal dunia buat selamanya.  

Surat al-Baqarah ayat 72-73, yang artinya, “(Ingatlah) ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu saling tuduh tentang itu. Akan tetapi, Allah menyingkapkan apa yang selalu kamu sembunyikan. Lalu, Kami berfirman, ‘Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.”  

Sayyid Quṭb dalam kitab Tafsir fi Zhilalil Qur’an (2000: 95) menerangkan:

Sesungguhnya Allah telah menyingkap untuk kaum Nabi Musa tentang hikmah penyembelihan sapi betina itu. Mereka telah membunuh seseorang, tetapi masing-masing melepas diri dan melemparkan tuduhan kepada orang lain karena dalam kasus ini tidak terdapat saksi.

Maka, Allah hendak mengungkap kebenaran melalui lisan si terbunuh itu sendiri dan penyembelihan sapi betina itu sebagai sarana untuk menghidupkan kembali yang bersangkutan. Yaitu, dengan memukulkan sebagian anggota sapi itu kepada mayat tersebut.

Demikianlah, kemudian si mayat itu hidup kembali untuk menerangkan sendiri siapa pembunuhnya, dan untuk menghilangan keraguan dan kebimbangan yang selama ini menyelimuti masalah pembunuhan itu; dan untuk menjelaskan bahwa yang benar itu benar dan yang batil itu batil dengan keterangan dan bukti-bukti yang akurat.

Kita memang tidak dapat menyaksikan keajaiban di masa Nabi Musa itu berulang kembali. Tidaklah dapat kita berharap mayat hidup kembali hanya untuk meringkus pelaku pembunuhan. Mengapa?

Sebab masih ada kejujuran yang akan menjaga kebenaran itu tetap tegak meski di tengah amukan badai.

Kejujuran mesti ditegakkan meski langit akan runtuh.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur