PEREMPUAN budak itu meneteskan airmata. Bukan untuk menangisi kepedihan yang mendera dirinya, melainkan demi meratapi perihnya siksa dan derita yang ditimpakan kepada seorang pria. Dan lelaki yang ditangisinya itu adalah Nabi Muhammad saw.
Sulit menemukan enaknya hidup sebagai seorang budak, yang tentunya kenyang dengan deru debu kehidupan. Mestinya budak perempuan itu lebih kebal menyaksikan aksi kekerasan, karena toh hidupnya sendiri sudah teramat keras.
Bahkan Nabi Muhammad pun tidak aman dari berbagai teror dari musuh-musuh yang mulai merasa terancam dengan dakwah Islam. Dengan bergugurannya airmata seorang wanita budak, siapapun dapatlah membayangkan siksaan macam apa yang telah ditimpakan pihak musyrikin terhadap beliau.
Nabi Muhammad saw. diam saja menghadapi perlakuan demikian buruk. Beliau memilih bersikap tenang dan membuktikan kesabaran dirinya dalam menerima cobaan.
Tidak ada yang sia-sia dari sebuah pengorbanan, sebab kejadian pahit tersebut akhirnya berbuah manis, justru peristiwa yang menyedihkan berujung sesuatu yang teramat menakjubkan.
Perempuan itu adalah budak dari majikannya yang bernama Abdullah bin Jud’an. Dia melaporkan kemalangan yang menimpa Rasulullah saw. tersebut kepada orang yang tepat, yakni Hamzah bin Abdul Muthalib.
Usia Hamzah sepantaran dengan Rasulullah, di mana keduanya pernah menyusu dengan perempuan yang sama, yakni Tsuwaibah. Hamzah adalah paman Nabi Muhammad dan sekaligus saudara sepersusuannya. Dari itu pula dapat dimaklumi betapa mendalam rasa cinta kasih Hamzah terhadap Rasulullah.
Sosok Hamzah bagaikan singa padang pasir yang ditakuti oleh kalangan suku Quraisy. Dirinya adalah jagoan pemberani yang tangguh dalam pertarungan. Hobinya adalah berburu, yang menggambarkan kecakapannya memanah.
Ahmad Khalil Jam’ah dalam buku Lelaki yang Dijamin Surga (2022: 231) menceritakan:
Beberapa tahun sudah berlalu, sementara Hamzah tetap keasyikan dengan gaya hidupnya yang bermain dan berburu. Terkadang dia perhatikan pula kejadian-kejadian yang dialami agama baru ini. Tapi tidak jarang dia juga tidak peduli terhadap apa yang dikatakan manusia dan apa yang terjadi. Perhatiannya tertuju kepada istrinya, Salma binti Umais dan putrinya, Umarah. Keduanya beruntung mendapatkan curahan cinta dan perhatiannya.
Ternyata cinta Hamzah tidak membuta kepada istri dan putrinya semata, karena di balik kegarangan dirinya tersimpan cinta hakiki atas nama kemanusiaan sejati. Maka cinta itulah yang mencuat tatkala hati Hamzah membara mendengar kabar yang memprihatinkan.
Syaikh Abdurrahman Yakub dalam buku Pesona Akhlak Rasulullah saw. (2006: 85) menceritakan:
Ketika Hamzah pulang dari berburu, dan melewati rumah Abdullah bin Jud’an di daerah Shafa, seorang budak perempuan Abdullah bin Jud’an menghentikan perjalanannya.
Dia berkata sambil menangis bahwa Abu Jahal mencaci maki Muhammad ketika keduanya bertemu di daerah Shafa. Rasulullah diam saja, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian, Abu Jahal mengambil batu dan melemparkannya ke kepala Rasulullah hingga berdarah.
Dalam redaksi lain Ahmad Khalil Jam’ah (2022: 231) mengungkapkan:
Pada saat itulah dia diberhentikan seorang wanita yang kemudian berkata kepadanya, “Wahai Abu Umarah, sekiranya saja engkau melihat apa yang dialami anak saudaramu Muhammad tadi dari Abul-Hakam bin Hisyam. Dia mendapati Muhammad di tempat ini lalu dia menyiksa dan mencercanya, sehingga dia mengalami sesuatu yang tidak disukainya. Kemudian dia meninggalkannya, sementara Muhammad tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadanya.”
Singkat saja apa yang disampaikan wanita budak itu, tetapi dari airmatanya Hamzah memahami keponakannya itu sungguh malang keadaannya. Tidak butuh cerita yang berpanjang-panjang, airmata perempuan sudah menceritakan apa yang tidak diceritakan oleh lisan.
Sebagai jagoan Quraisy yang disegani, Hamzah tidak gentar sedikit pun dengan nama besar Abul-Hakam bin Hisyam, atau yang masyhur dengan sebutan Abu Jahal yang terkenal dengan kejahatannya.
Mahdi Rizqullah Ahmad dalam buku Biografi Rasulullah (2017: 253-254) menerangkan:
Mendengar itu, langsung saja ia bangkit dan mendatangi Abu Jahal yang sedang berkumpul dengan kaumnya. Tanpa banyak kata, Hamzah menghampiri Abu Jahal dan langsung menghantam kepalanya dengan busur.
Ia menghardik keras, “Apakah engkau masih berani mencela Muhammad bila aku telah masuk ke dalam agamanya?” Sejak peristiwa itulah Hamzah mendapatkan hidayah dan tertarik untuk masuk Islam.
Secara beruntun Hamzah memberikan kejutan: pertama, dia langsung menghajar kepala Abu Jahal dengan busur miliknya sebagai pembalasan atas kekejian yang dilakukannya, kedua, dia menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam.
Tampaknya musyrikin Quraisy tidak siap dengan sikap tegas dari seorang Hamzah. Dari pada malu muka, rekan-rekan Abu Jahal berdiri hendak melakukan perlawanan, lagi pula jumlah mereka cukup banyak dibanding Hamzah yang hanya seorang diri.
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri pada bukunya Seri Sirah Nabawi Periode Mekkah (2021: 57) menjelaskan:
Melihat hal itu, sebagian orang-orang dari Bani Makhzum -yakni, dari suku Abu Jahal-- terpancing emosinya, demikian pula dengan orang-orang dari dari Bani Hasyim --dari suku Hamzah--.
Abu Jahal melerai dan berkata, “Biarlah Abu Imarah (julukan Hamzah)! Sebab aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang amat jelek.”
KOMENTAR ANDA