ERA digital, segalanya serba cepat. Termasuk cepat menghakimi.
Dengan berbagai 'pencitraan' yang dihadirkan di laman media sosial, kita menjadi mudah tersulut untuk julid. Kita seolah menjadi seorang jaksa penuntut yang harus bisa mencari kesalahan—sekecil apapun—dari seorang terdakwa.
"Dia cantik sih, tapi...."
"Dia cerdas sih, tapi...."
"Suaminya kaya sih, tapi...."
"Bajunya bagus sih, tapi...."
Selalu saja ada kekurangan orang di mata kita. Padahal kita tahu ketidaksempurnaan adalah hakikat manusia.
Kiranya kita mesti menghayati hadis berikut ini.
Seorang laki-laki bercerita kepada Rasulullah saw. bahwa seorang perempuan disebut-sebut karena banyak salat, puasa, dan sedekahnya, tapi ia seringkali menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Maka Rasulullah menegaskan, "perempuan itu akan berada di dalam neraka." Kemudian laki-laki tadi bercerita lagi, Wahai Rasulullah, seorang perempuan disebut-disebut sedikit salat dan puasanya, bahkan sesungguhnya ia hanya bersedekah dengan sepotong keju, tetapi ia tak pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah menegaskan, "Perempuan itu di dalam surga." (HR. Ahmad)
Dari hadis di atas, kita seharusnya memahami betapa dahsyat dampak julid terhadap segenap amal saleh yang sudah mati-matian kita lakukan.
Banyak contoh di sekitar kita (mudah-mudahan kita bukan termasuk di dalamnya).
Salat lima waktu tak pernah tertinggal, salat sunnah selalu terjaga, puasa sunnah rajin dikerjakan, mengikuti kelompok one day one juz dengan aktif, dan tak pelit berdonasi di berbagai kegiatan penggalangan dana.
Tapi setelah sajadah dilipat, lisannya kembali berghibah. Tak satu pun istighfar meluncur dari bibirnya.
Di tengah hari saat berpuasa, jari-jemarinya sibuk memberi komentar pedas di media sosial tentang sosok yang sedang viral.
Atau setelah Al-Qur'an ditutup, gantian ponsel yang dibuka untuk bergosip tentang rekan kerja yang baru mendapat promosi atau seorang teman yang pelit.
Duh, sulitnya menjauhi julid.
Padahal julid, sekalipun kita berdalih itu hanya sebuah lelucon, tetap saja mengandung hinaan, cemooh, penilaian subjektif, hingga kesombongan. Julid seolah telah menjadi bagian dari kehidupan manusia modern.
Lalu bagaimana mencegah lidah kita agar tak menyakiti orang lain, sekalipun orang itu tidak mengetahuinya?
Jika keinginan julid tak tertahankan, buatlah afirmasi untuk diri kita dan camkanlah berulang-ulang sampai niat julid memudar.
"Jika saya julid, rusaklah semua amalan. Jika saya julid, sia-sialah semua ibadah. Jika saya julid, maka saya menjadi hamba yang bangkrut di akhirat nanti. Jika saya julid, saya tak akan pernah merasakan nikmatnya jannah Allah Swt."
Andai kita konsisten menjaga hati, pikiran, dan lisan kita dari potensi menyakitkan orang lain, maka kita insya Allah bisa memiliki lisan yang bersih dan selalu membawa kita pada kebaikan.
Yuk, bisa yuk!
KOMENTAR ANDA