FAHMA Mohamed membuktikan bahwa seorang perempuan Muslim muda dapat memberi sumbangsih nyata bagi masyarakat sekalipun mayoritas penduduknya adalah non-Muslim.
Dia seorang perempuan Muslim kulit hitam yang menginspirasi. Dia bangga akan darah Somalia yang mengalir di tubuhnya. Dan dia pun bangga menjadi seorang Bristolian.
Lahir di Belanda pada tahun 1996, keluarga kemudian membawa Fahma pindah pindah ke Bristol, Inggris saat usianya 7 tahun.
Di sekolah, Fahma menghadiri diskusi yang membahas tentang Female Genital Mutilation (FGM): pemotongan atau pengangkatan sebagian atau semua bagian luar alat kelamin perempuan.
Fahma merasa ngeri dengan apa yang dia pelajari dan memutuskan untuk membantu dengan cara apa pun untuk menghentikan praktik tersebut.
Namun perlu digarisbawahi, FGM berbeda dengan pengertian sunat dalam Islam maupun praktik sunat di Indonesia yang disepakati Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak RI.
Fahma mulai aktif berkampanye pada usia 14 tahun ketika dia bergabung dengan proyek End FG dari Integrate Bristol; sebuah badan amal yang didirikan oleh guru bahasa Inggris sekolahnya, Lisa Zimmerman.
Setelah kampanye tanpa henti selama tiga tahun untuk meningkatkan kesadaran tentang FGM di Inggris, Integrate UK di tahun 2014 berhasil meluncurkan petisi online untuk mengakhiri FGM dengan mengumpulkan lebih dari 250.000 tanda tangan.
Petisi tersebut mendapat dukungan dari aktivis Malala Yousafzai dan Sekjen PBB Ban Ki-Moon.
Atas keberhasilan tersebut, Fahma diundang untuk bertemu dengan Menteri Pendidikan Inggris saat itu, Michael Gove. Fahma mendorong Sang Menteri untuk menulis surat ke semua sekolah di Inggris mendesak para guru dan orangtua memahami masalah FGM.
Fahma juga menginspirasi pelatihan kesadaran FGM wajib bagi pekerja sektor publik untuk meningkatkan pemahaman dokter, guru, dan pekerja sosial tentang risiko yang ditimbulkan pada anak perempuan.
Pada tahun itu pula Fahma dinobatkan sebagai Young Activist of the Year oleh Majalah Good Housekeeping.
Kemudian di tahun 2016, ketika dia baru berusia 19 tahun, Fahma menjadi salah satu orang termuda di Inggris yang menerima gelar kehormatan yaitu Doktor Hukum oleh Universitas Bristol sebagai pengakuan atas perjuangannya untuk perubahan kebijakan.
Menurut pihak Universitas Bristol, Fahma adalah pejuang muda HAM, penggugat patriarki, seorang Bristolian, yang sangat layak menerima gelar Doktor Hukum honoris causa.
Inilah sepenggal narasi dari Universitas Bristol sebelum meminta Fahma maju menerima gelarnya:
Fahma telah mendobrak hambatan dan membuka jalan bagi gadis-gadis muda untuk tidak mengizinkan siapapun merebut hak mereka atas diri mereka sendiri, baik itu tubuh maupun kehidupan mereka.
Dan dengan semua yang telah dia capai, dan semua yang akan dia capai, Fahma mengatakan dia tidak akan berada di sini hari ini jika bukan karena cara ibunya membesarkannya.
Kata-kata ibu Fahma – yang ada di sini bersama kita hari ini – dan filosofi yang telah membentuk perempuan yang luar biasa: untuk tidak pernah membiarkan siapa pun memberi tahu Anda, Anda tidak dapat melakukan sesuatu karena siapa Anda atau dari mana kamu berasal.
Langkah Fahma tak berhenti, dia terus mengampanyekan hak-hak perempuan melawan fenomena predator seksual online dan kawin paksa anak-anak, sambil belajar Ilmu Biomedis di King's College London.
Peran aktif Fahma dalam meningkatkan kesadaran dan berjuang untuk menghapus praktik mengerikan yang mempengaruhi jutaan gadis muda di Inggris dan di seluruh dunia sangat menginspirasi.
Apa yang Fahma lakukan adalah pengingat yang inspiratif bahwa berapa pun usia kita, kita dapat memperjuangkan apa yang kita yakini dan memiliki dampak positif.
KOMENTAR ANDA