Kombes Pol. Hastry Purwanti bersama Dekan FK Unika Soegijapranata dr. Indra Adi S/ @hastry_forensik
Kombes Pol. Hastry Purwanti bersama Dekan FK Unika Soegijapranata dr. Indra Adi S/ @hastry_forensik
KOMENTAR

KEINGINAN untuk bekerja di instansi pemerintah membawa Kombes Pol. Dr. dr. Sumy Hastry Purwanti, SDM., Sp.F., melamar ke Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro ini kemudian dikenal sebagai polisi wanita pertama yang menjadi dokter forensik di Indonesia dan satu-satunya di Asia.

Penugasan di Poltabes Semarang merupakan awal ketertarikannya di bidang kedokteran forensik. Saat itu Hastry terlibat dalam olah TKP sebuah pembunuhan di tahun 2000.

Menurut Hastry, bidang kedokteran forensik mengharuskannya menggunakan semua ilmu kedokteran secara maksimal. Dunia forensik juga terus berkembang.

"Ada patologi forensik, toksikologi forensik, forensik klinik, psikiatri forensik, dan banyak lagi," ungkap perempuan kelahiran 23 Agustus 1970 ini.

Hastry mendalami kedokteran forensik dengan mengikuti berbagai pendidikan spesialis seperti kursus DVI di Singapura tahun 2006, kursus DNA di Malayasia tahun 2007, juga kursus identifikasi luka ledakan di Australia tahun 2011.

Tak hanya untuk menangani kasus pembunuhan, atau korban bom dan kecelakaan pesawat, perkembangan kedokteran forensik saat ini didukung kecanggihan teknologi yang dikenal dengan digital forensik. Misalnya saja pada kejahatan yang terekam CCTV atau beredarnya video asusila, polisi dengan mudah bisa mengungkap identitas pelakunya.

Dokter forensik juga banyak bersinggungan dengan disiplin ilmu lain, karena itulah kerja sama lintas sektor menjadi sangat penting. Dalam mengungkap suatu kasus, Hastry kerap mendapat bantuan dari para akademisi, LSM, juga TNI.

Prinsip Hastry, ia sangat menjunjung kecermatan dan kesabaran dalam menentukan identitas jenazah agar akurat. Lebih baik tidak mengidentifikasi jenazah daripada salah mengidentifikasi.

Karena itulah ia menyayangkan keluarga korban yang kerap mendesak polisi forensik untuk sesegera mungkin mengumumkan identitas jenazah korban dan menuduh ahli forensik mempersulit prosesnya.

Kontribusinya dalam bidang forensik juga dilakukan dalam bentuk menulis sejumlah buku dan menjadi pembicara, termasuk di Workshop Forensic Scientist di Malaysia dan Den Haag tahun 2012.

Pada September tahun ini Hastry juga terbang ke Kanada mengikuti Kongres Polwan Sedunia (IAWP) ke-59 yang diikuti 70 negara.

Hingga saat ini, ia telah menangani banyak kasus besar di Indonesia.

Mulai dari bom Bali pertama dan kedua (2002 dan 2005), bom Kedubes Australia di Jakarta (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), gempa bumi Yogyakarta (2006), bom hotel JW Marriott Jakarta (2009), identifikasi jenazah Noordin M. Top (2009), gempa bumi Padang (2009), kecelakaan pesawat Sukhoi SSJ-100 di Gunung Salak, Bogor (2012), juga identifikasi korban pesawat AirAsia QZ 8501 (2015).

Ia juga sempat mengungkapkan pendapatnya terkait autopsi almarhum Brigadir Joshua dalam kasus Ferdy Sambo yang menggemparkan rakyat Indonesia di tahun 2022.

Sejumlah jabatan penting pernah diemban Hastry, di antaranya Kepala Instalasi Forensik RS Bhayangkara Tingkat I R. S. Sukanto dan Kepala RS Bhayangkara Tingkat II Prof. Awaloeddin Djamin Semarang.

Sekalipun kini menjabat Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Hastry masih sering membantu melakukan autopsi untuk identifikasi korban. Menurutnya, kedokteran forensik adalah passion yang selalu ia kerjakan sepenuh hati.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women