PADA mulanya turunlah kabar gembira kepada seorang lelaki tua, bahwa dirinya akan dianugerahi seorang putra istimewa. Namun, bagi mereka yang memahami makna tersirat, diketahuilah ayat ini menyangkut keagungan seorang perempuan.
Qs. Maryam ayat 7, yang artinya, “(Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.”
Punya anak memang membahagiakan bagi seorang lelaki sejati, tetapi kebahagiaan berketurunan itu tidak mungkin terwujud tanpa peran seorang istri. Akhirnya, bagi orang-orang yang mau menggali i’tibar akan menemukan kekuatan jiwa di balik berita gembira dari Ilahi Rabbi. Rangkaian ayat ini memang mengandung dialog Tuhan dengan lelaki (Nabi-Nya), tetapi saripatinya adalah tentang kemuliaan perempuan.
Surat Maryam ayat 8, yang artinya, “Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana (mungkin) aku akan mempunyai anak, sedangkan istriku seorang yang mandul dan sungguh aku sudah mencapai usia yang sangat tua?”
Syaikh Bakar Abdul Hafizh al-Khulaifat pada Tafsir dan Makna Doa-Doa dalam Al-Qur’an (2014: 364-365) menerangkan:
Ayat ini menujukkan ketakjuban Zakaria ketika ia diberi kabar gembira bahwasanya istrinya akan mengandung seorang anak dan ia pun bertanya akan cara bagaimana terwujudnya hal tersebut sedang istrinya adalah seorang wanita yang dianggap mandul dari awal umurnya dan sekarang ia pun telah tua.
Setelah Zakaria bertanya-tanya, maka jawabannya pun mendatanginya untuk menghilangkan rasa keheranannya, lalu Allah pun menyebutkan hal serupa yang mirip dengannya dan penyataan penciptaannya.
Allah Swt. adalah Maha Pencipta, Pemilik Kehendak yang sempurna, Dia yang menciptakan kemandulan, Dia pula yang menciptakan kesuburan, dan Dia pula yang dapat mengubah kemandulan dan kesuburan tersebut.
Demikianlah kenyataannya seperti yang engkau katakan bahwasanya istrimu mandul dan engkau telah menjadi orangtua yang renta. Akan tetapi Tuhanmu mengatakan bahwasanya menciptakan apa yang engkau inginkan adalah perkara yang sangat mudah.
Nah, penafsiran di atas dapat dipadatkan, yakni tentang perempuan mandul yang mendapatkan anugerah keajaiban mengandung dan melahirkan seorang anak saleh. Kelak putranya menjelma sebagai Nabi Allah yang gagah berani menegakkan kebenaran dan keadilan.
Betapa melalui ayat-ayat-Nya ini Allah Swt. telah membela seorang perempuan. Nabi Zakaria telah mafhum sekali kondisi istrinya yang sulit memiliki keturunan..
Menjadi perempuan yang dianggap mandul berat sekali beban batinnya, terlebih jamaknya pandangan sosial yang memuja perempuan yang mampu mempersembahkan keturunan bagi suaminya.
Untuk kesekian kalinya Allah Swt. membuktikan keajaiban itu dapat saja terjadi, justru di rahim perempuan yang dianggap mandul itu Tuhan amanahkan seorang nabi masa depan. Tidak tanggung-tanggung pula anugerah itu dengan langsung Allah memberinya nama Yahya.
Alangkah luar biasanya kebahagiaan perempuan itu, sudahlah kemandulan dirinya terbantahkan dengan kehamilan barakah, putranya pun diberikan nama oleh Tuhan. Sungguh karunia yang luar biasa untuk kesabaran dirinya menjalani ujian kemandulan.
Baiklah, lantas siapakah perempuan agung itu?
Ahmad Khalil Jam’ah pada buku Istri-Istri Para Nabi (2020: 200-201) menerangkan profilnya secara manis:
Ia wanita beriman, mulia, baik, dan asal-usulnya suci. Ia tumbuh di asuhan kemuliaan, diberi makan di atas meja makan takwa, hidup di kehidupan yang suci, dan menyambung malamnya dengan siangnya dalam taat kepada Allah Ta'ala. Oleh karena itu, Allah Ta'ala memberinya kemuliaan agung yang mengangkatnya tinggi ke langit orang-orang berbakti dan mengeluarkan nabi dari rahimnya.
Wanita suci tersebut wanita yang mengikatkan diri kepada kemuliaan yang merupakan tali yang tidak bisa putus. Wanita tersebut selalu bersegera kepada segala kemuliaan dan kebaikan, karena meniru suaminya, Zakaria, dan karena cinta kepada rahmat Allah Ta'ala.
Isya’, istri Zakaria adalah wanita mandul sejak masa remaja. Kehidupan terus melaju bersama Isya' dan suaminya, hingga Zakaria menjadi tua, tulang-tulang beliau kian melemah, dan rambut beliau penuh dengan uban. Pada saat yang samma, istri Zakaria juga menjadi wanita tua yang juga telah dimakan usia, hanya saja, wajahnya tetap terjaga dengan sinar Rabbaniyyah yang membuatnya semakin disegani siapa saja yang melihatnya.
Kondisinya yang mandul tidak membuat Isya’ kehilangan pesona, sebab dirinya mengikat dirinya dengan cahaya Ilahi yang tidak akan pernah terputus. Kemandulan tidak membuatnya kehilangan rasa percaya diri, sebab optimisme itu senantiasa menjadi petunjuk hidup bagi setiap perempuan beriman.
Sejujurnya, tentulah berat menjalani hidup sebagai perempuan yang tidak kunjung punya buah hati, seperti ada yang kurang lengkap dalam status kewanitaannya. Tak terkecuali Isya’ pun mengalami tekanan yang serupa, tetapi hebatnya mampu mengendalikan kekuatan hatinya.
Ahmad Khalil Jam’ah (2020: 206) mengungkapkan sesuatu yang menggetarkan hati:
Zakaria memandang istri beliau, Isya’ dengan pandangan iba dan simpati. Beliau melihat sinar terlukis indah di wajahnya dan senyuman rida di kedua bibirnya, karena hatinya berhubungan dengan Allah Ta'ala dengan pengetahuan yang sebenar-benarnya dan nyaris tidak kenal kecuali dengan Pencipta.
Petikan ini hendaknya menjadi azimat berharga bagi para wanita yang juga mengalami ujian yang serupa dengan Isya’. Dirinya yang memikul beban berat, tetapi tidak goyah sedikit pun imannya. Ini bukan perkara keajaiban lahirnya anak belaka, melainkan tentang hati yang membaja seorang wanita.
KOMENTAR ANDA