KEKERASAN dalam rumah tangga (KDRT) seharusnya tidak perlu terjadi dalam suatu hubungan pernikahan. Bagi korban, mendapatkan perlakuan kekerasan dari pasangan bisa menjadi trauma yang sangat mendalam.
Tentu, ada banyak dampak negatif yang dialami korban KDRT. Mulai dari masalah kesehatan fisik, hingga kesehatan mental seperti gangguan kecemasan dan depresi.
Mau bertahan atau meninggalkan, menjadi pilihan yang sangat sulit. Sebagian besar korban KDRT memilih untuk bertahan dengan berbagai alasan.
Mengutip Marriage, alasan yang cukup banyak dipilih adalah ingin anak-anak dibesarkan di rumah Bersama kedua orangtunya. Atau, ingin memberikan masa depan yang lebih baik, hingga mencegah trauma perceraian di masa depan.
Alasan lainnya, korban tidak memiliki tempat tinggal, bergantung pada pasangan untuk mendapatkan sokongan keuangan, atau meyakini bahwa pelecehan dan kekerasan itu normal, bahkan dibenarkan karena kekurangannya.
Korban yakin bahwa pelaku masih mencintainya dan berharap ke depan akan berubah demi hubungan pernikahan dan anak-anak.
Namun sebaiknya perhatikan, menurut National Coalition Againts Domestic Violence (NCADV), 1 dari 15 anak ikut menjadi korban KDRT, dan 90 persen anak-anak menjadi saksi mata atas kekerasan yang dilakukan orangtuanya.
“Tidak peduli seberapa sulit, penting untuk meninggalkan pernikahan yang kasar,” tulis laporan NCADV.
Mungkin, memang ada situasi beberapa pelaku melakukan KDRT karena khilaf dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Di sisi lain, mungkin saja mereka tidak akan berubah. Jadi, ketika pelaku tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan, tetap tinggal Bersama bukanlah pilihan terbaik.
Apalagi, banyak ahli memperingatkan bahwa pelaku KDRT sulit berubah. Pada kasus KDRT karena perselingkuhan, misalnya, pengulangan dapat saja terjadi, kapanpun.
Jadi, Bertahan atau Meninggalkan?
Meyakini dapat mempertahankan rumah tangga, tidak semudah yang dibayangkan. Tidak hanya butuh waktu dan usaha, tapi proses rekonsiliasinya bisa sangat menyakitkan.
Cobalah berpisah untuk sementara waktu sebelum membuat keputusan. Jika pada akhirnya memilih berdamai, pastikan komitmen tanpa toleransi kekerasan di masa depan.
Bila khawatir dengan kondisi keuangan, mulailah berpikir untuk mandiri secara finansial. Berbenah diri dan siapkan waktu untuk mencari pekerjaan, mengikuti berbagai pelatihan, dan manfaatkan relasi yang ada.
KOMENTAR ANDA