Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

PRANK adalah suatu perbuatan usil yang ditujukan dari seseorang terhadap orang lain dengan maksud untuk bercanda atau sekadar asik-asikkan. Tujuan utamanya adalah hiburan, untuk menarik viewers sebanyak-banyaknya.

Tapi, semakin hari semakin kelewatan pula prank yang dilakukan oleh para pembuat konten ini. Berawal dari bercanda dan berakhir di arah candaan yang berlebihan atau tidak bisa diterima masyarakat.

“Sebenarnya, tujuan prank itu ingin melihat reaksi korban. Jika dirasa cukup menarik, maka akan dijadikan konten, bahkan sampai ketagihan. Sebab, kontennya akan menjadi trending topik, most viewed content, bahkan viral di berbagai platform digital, sehingga terbuka peluang untuk mengakomodasi konten semacam ini,” kata Nena Mawar Sari S, Psi Psikolog, psikolog klinis remaja dewasa dan hipnoterapis dari Denpasar Mental Health Centre Balimed Hospital, mengutip Kaskus.com.

Saat kebutuhannya terpenuhi dan terus meningkat, si prankster kemungkinan akan ingin terus melakukan sesuatu demi memenuhinya. Bahkan seringkali tampa berpikir panjang, apakah perilakunya berdampak buruk atau membuat tidak nyaman si korban.

Dan perlu diingatkan, prank yang menyebabkan korban menjadi malu, apalagi trauma, bukanlah sebuah kenormalan.

“Di sini jelas, rasa empati dan humanisnya sudah tidak ada. Apalagi jika pelaku tidak memikirkan dampak psikis terhadap penontonnya, yang justru seharusnya dibantu, seperti anak-anak, lansia, atau penyandang disabilitas. Ini jelas tidak menginspirasi dan justru merusak mental penonton,” ujar Nena.

Lalu, apakah bisa dikatakan bahwa pelaku prank berlebihan bisa jadi merupakan sebuah gejala dari kondisi psikologis tertentu?

Nena menjawab, “Ya!” Sebab, lanjut dia, pelaku prank mirip pelaku bullying. Hanya saja, tujuan dan jenisnya berbeda. Hanya saja, mereka memiliki latar belakang yang bermacam-macam, sehingga tidak bisa langsung men-judge bahwa pelaku prank mengalami gangguan psikologis.

Karenanya Nena menyarankan, bagi pelaku prank untuk berpikir ulang pada konten yang akan dibuat. Jangan hanya karena rating, jadi merugikan orang lain. Karena konten-konten tersebut bisa saja ditonton anak-anak atau justru bersinggungan dengan masalah hukum.

“Agak sulit, karena kita tidak bisa mengontrol semua konten. Tapi ada UU ITE atau UU kekerasan verbal, fisik, atau Tindakan kurang menyenangkan, yang bisa menjadi dasar efek jera/hukum pelaku,” demikian Nena.




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health