FILM-film superhero yang muncul sejak 10 tahun belakangan, selalu berhasil menuai antusiasme dari berbagai belahan dunia dan berbagai kalangan usia.
Ada banyak faktor yang membuat film-film tersebut diminati, mulai dari storyline yang menarik, aktor yang bagus, visual effect yang memukau, pemasaran yang intens, dan lainnya.
Sayangnya, American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan film-film tersebut ditonton anak-anak usia kurang dari 6.
AAP memberikan sejumlah alasan mengenai rekomendasinya ini:
- Sebagian besar film dengan tema ini menayangkan adegan kekerasan, di mana ini bukanlah tayangan yang tepat untuk anak usia dini, meskipun film disajikan dalam bentuk animasi kartun.
- Film bisa menjadi sumber untuk anak memahami dunia sekitarnya. Sehingga nilai-nilai dan hal-hal yang dipercayai anak salah satunya bisa berasal dari film.
- Anak usia kurang dari 6 belum bisa membedakan antara fantasi dan kenyataan, sehingga ia bisa merasa selalu terbawa dan merasa sangat ketakutan. Anak juga akan cenderung meniru perilaku kekerasan yang ia tonton.
Jadi pada 2018, sekelompok periset AAP menerbitkan makalah berjudul Violence Depicted in Superhero-Based Films, stratified by Protagonist/Antagonist and Gender.
Makalah ini berisi analisis wacana terhadap 10 film superhero yang dirilis sepanjang 2015-106. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa karakter orang baik dalam film-film itu terhitung melakukan kekerasan lebih banyak daripada karakter ‘penjahat’.
Menurut catatan mereka, para protagonis rata-rata menampilkan aksi kekerasan sebanyak 23 kali per jam, lebih banyak dari antagonis yang melakukan 18 aksi kekerasan per jam.
Aksi kekerasan itu meliputi: perkelahian (1.021 aksi), penggunaan senjata mematikan (659 aksi), perusakan property (199 aksi), pembunuhan (168 aksi), serta intimidasi dan penyiksaan (144 aksi).
Sedangkan kekerasan yang dilakukan para ‘penjahat’ lebih sedikit, yaitu penggunaan senjata mematikan (604 aksi), perkelahian (599), intimidasi atau penyisaan (237 aksi), perusakan harta benda (191 aksi), dan pembunuhan (93 aksi).
Penggambaran karakter semacam ini berisiko memberi pemahaman yang salah, bahwa ‘penjahat’ lebih baik dari ‘jagoan’. Pada akhirnya, anak justru akan melakukan tindakan kekerasan kepada ‘penjahat’, seperti halnya yang dilakukan oleh para ‘jagoan-nya’.
KOMENTAR ANDA