KETIKA Nabi Muhammad saw. sedang fokus berdakwah kepada para pemuka suku Quraisy, tanggapan mereka sungguh mengecewakan. Pada kondisi yang tidak mengenakkan itu, datanglah Abdullah bin Amr bin Ummi Maktum, seorang pria tunanetra yang menyatakan keinginan memeluk agama Islam.
Dari sinilah bermula kontroversi, terlebih turun pula rangkaian ayat yang menerangan kisah tersebut.
Surah Abasa ayat 1-16, yang artinya, “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, yang memberi manfaat kepadanya. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup (pembesar-pembesar Quraisy), maka engkau (Muhammad) memberi perhatian kepadanya, padahal tidak ada (cela) atasmu kalau dia tidak menyucikan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut (kepada Allah), engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu), sesungguhnya (ajaran-ajaran Allah) itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya, di dalam kitab-kitab yang dimuliakan (di sisi Allah), yang ditinggikan (dan) disucikan, di tangan para utusan (malaikat), yang mulia lagi berbakti.”
Penyemangat untuk bangkit, bukan kecaman
Betapa panjangnya untaian ayat yang mengisahkan tentang seorang pria tunanetra yang mendatangi Rasulullah saw. demi menggapai impian menjadi seorang muslim.
Tanpa bermaksud menyalahkan penglihatannya yang terganggu, tampaknya orang tersebut tidak menyadari bahwa dia hadir bukan di waktu yang tepat, dan barangkali tidak pula memahami kondisi yang tengah terjadi.
Namun, kejadian itu besar sekali hikmahnya, karena tercantum dalam kitab suci, tentunya diharapkan yang diketahui bukan hanya fakta sejarah tetapi juga penting dipetik untaian hikmahnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menerangkan pada kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz Amma, bahwa Nabi Muhammad bermuka masam dan berpaling, arti abasa adalah kemuraman pada wajahnya, yakni keingkaran akan sesuatu dengan mimik wajah, dikarenakan telah datang seorang buta kepadanya.
Dia adalah Abdullah bin Amr bin Ummi Maktum yang datang menghadap Nabi Saw. ketika beliau masih berada di Mekah sebelum peristiwa hijrah.
Ketika itu Nabi Saw. tengah mengharapkan agar kaum pembesar Quraisy masuk Islam. Dimaklumi bahwa para pembesar dan orang-orang mulia jika mereka masuk Islam, akan berefek sebab masuknya orang-orang di bawah pengaruh mereka ke dalam Islam. Prioritas Nabi Saw. kepada mereka ini sangatlah kuat.
Lantas datanglah orang buta yang meminta, “Ajarilah aku ini dengan apa-apa yang telah diajarkan oleh Allah.”
Hal itu membuat Nabi Saw. berpaling darinya dengan muka muram karena sedang mengharapkan agar para pembesar Quraisy memeluk Islam.
Peristiwa yang rawan multitafsir ini diabadikan dalam Al-Qur’an, bahkan disematkan dalam nama Surah Abasa, yang artinya bermuka masam. Hal demikian hendaknya membuka cakrawala berpikir kita untuk menyelami hikmah terdalam dan menjauhkan diri dari prasangka yang merugikan.
Setelah itu bermunculan pertanyaan, apakah kejadian orang tunanetra tersebut mencederai akhlak Nabi Muhammad?
Keluhuran budi pekerti Rasulullah saw. tidak ada satu pun yang meragukannya. Bahkan orang-orang yang memusuhi ajaran Islam, yang keras menolak dakwahnya, justru mengakui kemuliaan akhlak Nabi Muhammad.
Jadi, kejadian pada Abdullah bin Ummi Maktum tidaklah menggambarkan akhlak beliau yang buruk, melainkan ada sesuatu terindah yang perlu disibak di balik peristiwa tersebut.
Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun jua, kelihatannya Abdullah bin Amr bin Ummi Maktum tidak memahami kondisi yang berkembang sehingga dia datang bukan pada waktu yang tepat. Bukan bermaksud menyalahkan gangguan penglihatannya, karena orang yang kedua bola matanya terang benderang pun dapat datang pada saat yang kurang tepat.
Kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum yang mendesak agar diajarkan agama pun bisa dipahami, disebabkan semangatnya yang sedang bergelora.
Sekalipun masamnya wajah tidak akan terlihat oleh orang tunanetra, tetapi Allah Swt. tetap memberikan arahan yang manis terkait dengan strategi dakwah Rasulullah. Ya, sebetulnya ayat ini berhubungan dengan arahan bagi siapapun dalam memasang strategi berdakwah.
Betapa indahnya Allah Swt. menyebutkan pada Surah Abasa ayat 10-12, yang artinya, “Engkau (Muhammad) malah mengabaikannya. Sekali-kali jangan (begitu), sesungguhnya (ajaran-ajaran Allah) itu adalah suatu peringatan, maka barang siapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya.”
Dalam kondisi kecewa ya, siapapun manusia—termasuk Rasulullah—akan ada saja yang terabaikan. Jadi, kasus macam begini sebetulnya teramat manusiawi. Hanya saja Allah Swt. mengingatkan Nabi-Nya agar tidak larut dalam kecewa akibat penolakan bangsawan Quraisy, dan beliau perlu segera bangkit menyambut keislaman pria tunanetra tersebut.
Kembali diingatkan, surat Abasa ini hendaknya dipahami bukan kecaman terhadap akhlak beliau, melainkan teguran manis terkait strategi dakwah yang dijalankan.
Perlu dipahami. strategi bisa saja keliru. Toh, tidak ada strategi yang sempurna. Apabila Nabi Muhammad kecewa dengan sikap tidak terpuji para bangsawan, itu suatu perasaan yang manusiawi, akan tetapi segeralah move on dengan tidak perlu bermuka masam dengan hadirnya agenda dakwah yang baru.
Kejadian pria tunanetra sama sekali tidak mencederai akhlak beliau, sehingga tidak patutlah ada yang berprasangka buruk terhadap budi pekerti Nabi Muhammad.
KOMENTAR ANDA