DINAS Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta mencatat, ada 42 kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak sepanjang Januari hingga Oktober 2022. Gangguan gagal ginjal akut misterius itu mayoritas menyerang anak di bawah 5 tahun.
Berdasarkan unggahan akun Instagram Dinkes DKI, 42 kasus gangguan gagal ginjal akut misterius pada anak itu terdiri dari 29 kasus anak laki-laki dan 13 kasus anak perempuan.
“Ada 37 kasus balita (di bawah 5 tahun), ada 5 kasus usia 5-18,” kata Kepala Sudin Kesehatan Jakarta Selatan Yudi Dimyati, Sabtu (15/10).
Terkait ancaman serius pada kesehatan anak Indonesia ini, dr Citra Amelinda, SpA, MKes, IBCLC mengatakan, ada baiknya orangtua mulai mempertimbangkan pemberian obat-obatan pada anak.
“Obat hanya boleh dikonsumsi sesuai dengan petunjuk dokter saja. Bahkan parasetamol saja ada batas maksimalnya. Parasetamol itu hanya boleh diberikan maksimal 4 kali dalam sehari dengan batas waktu (durasi) 6 jam,” kata dr Citra kepada Farah.id yang ditemui di Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Sabtu (15/10).
Begitu pula dengan pemberian vitamin, tidak boleh terlalu banyak karena bisa berakibat pada megavitaminosis (overdosis vitamin). Jadi artinya makanan dan minuman bergizi yang bervariasi lebih baik diberikan kepada anak ketimbang vitamin dan obat-obatan.
“Batasi konsumsi obat-obatan dan vitamin. Jika ingin memberikan vitamin, jangan beli sendiri. Diskusikan dulu dengan dokter, kira-kira vitamin apa yang cocok dikonsumsi anak,” ujar dia.
Begitu pula terkait dengan resistensi antibiotik yang kini menjadi pandemi di India (superbug pandemi), dr Citra menyarankan untuk tidak membeli antibiotik sendiri di apotek. Dan, sangat dianjurkan untuk menghabiskan antibiotik yang sudah diresepkan dokter, meskipun gejala penyakit sudah sembuh.
Lebih jauh dokter spesialis anak di RS Siloam Purwakarta ini menyarankan agar orangtua tidak panik menghadapi pemberitaan-pemberitaan tentang kesehatan anak yang muncul belakangan ini.
“Penuhi gizi anak, karena anak yang sehat akan terhindar dari risiko-risiko penyakit demikian. Saring informasi atau batasi penerimaan informasi, hanya pada sumber-sumber yang terpercaya, seperti dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) saja,” demikian dr Citra.
KOMENTAR ANDA