BERUNTUNGLAH perempuan jelita itu, justru kematian yang membuat dirinya makin hidup di hati banyak orang. Malahan datangnya ajal yang menyingkap fakta betapa banyak manusia yang mencintainya. Jasadnya telah terkubur, tetapi pada hakikatnya perempuan itu tetaplah hidup.
Nyatanya, kematian perempuan tersebut malah membuat sahabat-sahabatnya syok, terpukul dan seperti hilang arah. Sahabat baik mereka telah lebih dahulu menghadap Tuhan, karena Ilahi amat mencintainya. Datangnya ajal demi membebaskan dirinya dari beban sakit yang memedihkan tersebut.
Rasa kehilangan rupanya lebih berat dari rindu. Meski hubungan sekadar pertemanan, tetapi ada kebaikan yang ditorehkan, ada kebajikan yang diraih bersama. Namun, kehilangan terlanjur berujung pada kesedihan yang menyayat hati. Para sahabat almarhumah itu seperti menyaksikan ruang kosong di lubuk sanubari mereka sendiri.
Syukurnya ada yang menghibur, “Kesedihan itu pasti berlalu, ini hanya perkara waktu.”
Mumpung kesedihan itu belum berlalu, ada baiknya kita menyerap energi positif dengan cara memandangnya sebagai anugerah.
Bagaimana bisa menjadi anugerah?
Kesedihan itu menjadi begitu pilu tatkala Ibrahim meninggal dunia. Nabi Muhammad yang demikian tegar sampai berlinang airmata. Berbagai upaya sudah dilakuan supaya putra mungilnya sembuh, tetapi balita itu menghembuskan nafas terahir di pelukan ayahandanya.
Artinya kesedihan itu bukanlah sesuatu yang terlarang. Asalkan tertata dalam koridor yang normal. Dan syukur-syukur dapat pula kita memetik hikmahnya. Justru dengan kepergian seseorang, kita yang masih hidup menjadi terlecut untuk melanjutkan amal salehnya.
Tetapi bagaimanakah menata hati yang tengah terpukul kesedihan?
Jeffrey S. Nevid pada bukunya Masa Remaja dan Masa Dewasa: Konsepsi dan Aplikasi Psikologi (2021: 62-63) menguraikan:
Kematian seorang teman dekat atau anggota keluarga kerap menjadi pengalaman traumatis. Biasanya hal itu menimbulkan keadaan dukacita (bereavement), yang ditandai dengan kesedihan dan rasa kehilangan.
Meskipun orang bisa jadi berkabung dengan beragam cara, kita bisa mengidentifikasi adanya kesamaan pola, atau tahap-tahap dukacita dan perkabungan tertentu.
Tahap pertama ditandai oleh perasaan ketersimaan dan keterguncangan. Dalam beberapa hari dan mungkin beberapa minggu setelah kematian, orang-orang yang berduka mungkin merasa sulit untuk menerima kenyataan berupa kehilangan dan merasa bingung atau melupakan lingkungan mereka.
Selama tahap berikutnya, mereka disibukan oleh pikiran tentang mendiang dan diliputi perasaan sedih. Pada akhirnya kesedihan mulai mereda dan mereka mampu menerima kehilangan dan kembali melakukan kegiatan seperti biasanya.
Kutipan ini membentangkan kabar perihal kesedihan yang memedihkan itu tidak terlepas dari perasaan kehilangan. Sehingga membuat orang sulit menerima kenyataan hingga larut dalam kesedihan. Kehilangan itu memang berat, apalagi kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah kembali, karena mana ada yang mati bisa hidup kembali.
Dalam menata kesedihan itu ternyata penting sekali proses menerima kenyataan bahwa kehilangan perlu diterima lapang dada. Suka atau tidak, segalanya memang akan pergi meninggalkan kita, tidak ada yang abadi di persada bumi ini. Dan cepat atau lambatnya proses penyembuhan kesedihan itu bergantung pula pada kemampuan menerima kehilangan itu.
Dalam perspektif Al-Qur’an, kesedihan itu disandingkan dengan kelemahan. Dari itu kitab suci mengingatkan jangan bersikap lemah dan jangan larut dalam kesedihan, dan meyakini agar berpegang teguh dengan keimanan.
Surat Ali Imran ayat 139, yang artinya, “Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin.”
Salman Harun dalam Tafsir Tarbawi: Nilai-nilai Pendidikan dalam Al-Quran (2021: 56) menerangkan:
Tidak boleh cepat bersedih, yaitu cepat menyerah menghadapi kesulitan. Bila ada kehilangan, jangan larut dalam kesedihan, tetapi cepat bangkit, karena yang hilang tidak akan kembali, dan kita hendaklah tidak kehilangan diri kita pula, sebab hal itu akan membuat kita semakin kehilangan dan semakin terpuruk.
Sedih itu normal, akan tetapi tenggelam dalam kesedihan itu membahayakan. Jangan sampai setelah kehilangan orang yang dicintai kita malah kehilangan diri sendiri. Dari itulah kesedihan itu perlu diterapi, bahkan disebutkan berkali-kali dalam kitab suci.
Terapi kesedihan adalah keimanan.
KOMENTAR ANDA