EMPTY Sella Syndrome (ESS) merupakan kondisi langka yang terjadi ketika kelenjar pituitari mengalami perubahan bentuk atau penyusutan karena adanya gangguan pada sella tursika.
Kondisi ini dapat terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
Empty Sella Syndrome Primer
ESS Primer terjadi ketika terdapat cacat anatomi kecil yang dibawa sejak lahir pada bagian atas kelenjar pituitari sehingga menyebabkan cairan cerebrospinal (CSF) mengisi sebagian atau seluruh sella turcica.
ESS Primer dapat menyebabkan pengidapnya memiliki kadar prolaktin yang tinggi, sehingga mengganggu fungsi testis pada pria dan ovarium pada wanita. ESS Primer sering terjadi pada pria dan wanita dewasa yang mengalami obesitas dan darah tinggi.
Empty Sella Syndrome Sekunder
ESS Sekunder disebabkan adanya penyusutan atau tertekannya kelenjar pituitari di dalam rongga setelah terjadi cedera, operasi atau terapi yang menggunakan radiasi.
ESS Sekunder menyebabkan gejala hilangnya fungsi hipofisis, seperti berhentinya menstruasi, infertilitas, kelelahan atau stress. Bila hal tersebut terjadi pada anak-anak, maka ESS dapat menyebabkan kekurangan hormon pertumbuhan, tumor hipofisis, atau disfungsi kelenjar pituitari.
Gejala Empty Sella Syndrome
Pada beberapa kasus gejala ESS tidak tersa. Namun pada kasus lain, gejala ini dapat berupa:
Sakit kepala, kelelahan, tidak tahan berada di ruangan dingin, menurunnya hasrat berhubungan seksual, periode menstruasi yang tidak beraturan, infertilitas bahkan impoten.
Pengobatan Empty Sella Syndrome
Pada ESS Primer yang tidak memiliki gejala yang signifikan, tidak dilakukan terapi apa-apa pada penyakit ini.
Namun apabila memiliki gejala yang signifikan, ESS Primer ditangani dengan memberikan obat untuk mengatasi hiperprolaktinemia yaitu tingginya kadar prolaktin tubuh.
Sedangkan untuk ESS Sekunder, pengidap harus menjalani serangkaian tindakan pengobatan untuk mengatasi penyebab utama terjadinya ESS Sekunder tersebut.
Apabila penyebab utamanya sudah berhasil diatasi maka pengidap akan diberikan terapi subsitusional hormon sesuai dengan hormon yang terdampak ESS Sekunder tersebut.
KOMENTAR ANDA