In Memoriam Intansari Fitri, Pendiri Majalah Farah
In Memoriam Intansari Fitri, Pendiri Majalah Farah
KOMENTAR

WAKTU budaya menulis dalam Bahasa Indonesia mulai tumbuh pada 1920-an yang ditandai oleh berdirinya Balai Pustaka, seiring berkembangnya penerbitan surat kabar dan majalah di tanah air, penulis wanita Indonesia sudah banyak yang terlibat di dalamnya.

Nama-nama seperti Selasih atau Seleguri (Sariamin Ismail) yang tercatat sebagai novelis perempuan pertama Indonesia, telah memukau publik melalui karyanya, Kalau Tak Untung, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1934.

Seleguri juga penulis utama di surat kabar dan majalah Pujangga Baru, Panji Pustaka, Soeara Kaoem Iboe Soematra, dan Bintang Hindia.

Tatkala akses kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang baik kala itu masih sangat dibatasi, tampil pula Rohana Kudus. Wartawati pertama Indonesia, pendiri surat kabar Sunting Melayu, 1912.

Rohana mengawali karir sebagai penulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia, pimpinan Tirto Adhi Suryo.

Saudara tiri Sutan Sjahrir, sepupu Haji Agus Salim, dan bibi dari penyair Chairil Anwar ini hidup sezaman dengan RA Kartini. Ia menekuni dunia kewartawanan secara otodidak.

Sosok lainnya ialah Siti Rukiah Kertapati. Seorang penulis cerita anak dan schrijfster (perempuan penulis) yang produktif pada 1950-an.

Tulisan-tulisannya antara lain menghiasi majalah Gelombang Zaman. Salah satu novel karya pengelola majalah pendidikan anak-anak, Cendrawasih, ini berjudul Kejatuhan dan Hati, yang menuai pujian banyak kalangan.

Novel berlatar revolusi, 1947-1949 itu bercerita tentang pergolakan batin seorang perempuan yang tak lagi mempedulikan stigma perawan tua yang dilekatkan kepada dirinya, karena memilih berperang di medan pertempuran.

Hampir sezaman dengan Rukiah terdapat nama lain seperti Hamidah, Waluyati, Siti Nuraini, hingga Toeti Heraty.

Sedangkan di era 1970-an tampil generasi berikutnya: Nh Dini, Titie Said, Marianne Katoppo, dan beberapa nama lain, yang juga terlibat di dalam aktivitas media massa.

Sejarawan Harsya W Bachtiar menyebut Siti Aisyah We Tenriolle, seorang perempuan pemimpin Sulawesi Selatan yang memerintah selama hampir 60 tahun. Darinya lahir sebuah masterpiece yang oleh UNESCO ditetapkan sebagai Warisan Dunia, La Galigo.

Naskah sastra klasik abad 19, setebal 7.000 halaman berbahasa Bugis ini dianugerahi UNESCO sebagai Memory of The World.

Sedangkan di kalangan Urang Sunda, misalnya, pada akhir abad 19, terdapat nama Raden Ayu Lasminingrat, penulis terkemuka yang menginspirasi kaumnya.

Inti dari kisah-kisah di atas adalah menulis bagi perempuan Indonesia sudah merupakan kebiasaan lama.

Passion (semangat yang luar biasa) untuk mengguratkan pena di atas kertas dari generasi ke generasi di kalangan perempuan Indonesia datang silih berganti, seakan tak pernah padam ditiup angin zaman.

Keterampilan menulis, kata orang, ialah perpaduan antara seni meracik rasa dan meracik pikiran yang dituangkan menjadi bahasa tulis. Menulis ialah aktivitas pengekspresian ide dan gagasan untuk menginspirasi dan mengedukasi pembaca.

Pekerjaan ini kalau diasah secara terus-menerus dengan bumbu  pengetahuan dan wawasan yang memadai, sesungguhnya merupakan profesi yang sangat cocok bagi kaum perempuan.

Mendiang Intansari Fitri, pendiri Majalah Farah (Farah.id), yang wafat pada Rabu 19 Oktober lalu, adalah sosok yang mewarisi passion yang kuat terhadap dunia tulis-menulis. Ia meneruskan tradisi eksistensi perempuan di panggung pers nasional.

Intan adalah anak wartawan yang jadi wartawan. Semasa kanak-kanak ia mengikuti sang ayah yang berdinas di sejumlah daerah di tanah air sebagai Kepala Biro Kantor Berita Antara.

Intan lahir di Jakarta, 11 Desember 1976. Menurut cerita sang suami, Teguh Santosa yang juga seorang wartawan, nama Intansari diberikan Gubernur Kalimantan Selatan ketika itu, Subardjo Sutosarojo, melalui sang ayah yang sedang bertugas di Banjarmasin.

Salah satu wilayah di daerah itu, kawasan Martapura, kebetulan terkenal sebagai lokasi penambangan intan tradisional yang pada masanya sangat produktif. Disitu dulu juga pernah ditemukan batu permata terbesar yang oleh Bung Karno dinamakan Trisakti.

Untuk melengkapi nama Intansari, sang ayah menambahkan kata Fitri.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women