PEREMPUAN tua itu tak kuasa menutupi raut kesedihan tatkala berkata kepada putrinya, “Kasihan kamu, Nak!”
Belum lama menantu laki-lakinya meninggal akibat kecelakaan. Anak perempuannya amat terpukul dengan kematian mendadak suaminya, terlebih pernikahan baru dijalani beberapa bulan. Namun, kabar dari dokter kandungan sontak membuat awan mendung sirna dari wajahnya berganti dengan sebuah cahaya harapan.
Sambil mengelus perutnya yang belum membesar, perempuan itu berkata, “Tidak apa-apa, Bu! Ini menjadi kenangan terindah dari almarhum suamiku.”
Anak, sekalipun belum lahir ke dunia, dapat menjadi ikatan hubungan di antara suami istri. Bahkan, kematian pun tidak memutuskan hubungan batin itu disebabkan keberadaan anak.
Beralih pada kisah nyata lainnya, ada seorang ibu tunggal yang dalam kepahitan hidupnya berhasil memperjuangkan empat putrinya jadi orang-orang sukses. Dia mengakui ini semua tidak terlepas dari kuatnya ikatan batin dengan almarhum suaminya.
Beralih lagi kepada kisah nyata berabad-abad yang lampau. Tentang cemburu Aisyah yang cukup melegenda, yakni cemburu yang memberikan untaian hikmah. Bukan hanya untuk Aisyah melainkan juga bermanfaat sebagai ibrah bagi kaum muslimin secara keseluruhan.
Akram Dhiya’ AI-Umur dalam bukunya Seleksi Sirah Nabawiyah (2022: 737) menceritakan:
Pernah Aisyah mengatakan, “Aku tidak pernah merasa cemburu kepada seorang pun di antara istri-istri Nabi saw. seperti rasa cemburuku kepada Khadijah dan apa yang aku lihat padanya. Akan tetapi, beliau malah seringkali menyebut-nyebutnya. Bahkan, terkadang beliau menyembelih seekor kambing dan setelah bagian-bagian yang enak dipotong, kemudian beliau kirimkan kepada teman-teman dekat Khadijah.
Terkadang aku sampai berani berkata kepada beliau, ‘Sepertinya di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah.’
Lalu beliau bersabda, ‘Dia adalah wanita yang memberiku keturunan.”
Tentunya banyak sekali kelebihan yang membuat sosok Khadijah terpatri kokoh di hati Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, selaras dengan tema pembahasan saat ini maka kutipan di ataslah yang disajikan, bahwa faktor keturunan menjadi pengikat erat hubungan suami istri.
Di tengah topan badai yang mengguncang bahtera rumah tangga, suami istri tetap berdiri tegak karena ada ikatan kuat yang membuat mereka tegar, yakni kehadiran anak. Maka jangan pandang anak sebagai beban, melainkan berkah dari Ilahi yang menyimpan maksud-maksud mulia.
Melihat anak sesungguhnya melihat diri kita sendiri. Kepada anaklah ayah bunda bercermin untuk melihat siapa diri mereka yang sebenarnya. Maka berbaik-baiklah dalam mendidik anak supaya cermin diri kita itu membanggakan hati. Karena anak yang saleh salehah akan memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan orangtua.
Anak adalah sumber energi bagi orangtua. Anak merupakan kekuatan yang membuat ayah bunda tangguh bertahan. Oleh sebab itu, perlu dipertegaskan lagi perspektif terhadap anak sebagai qurratal a’yun (hiasan mata). Pastinya ayah bunda teramat lelah dengan bertimbunnya beban urusan duniawi, tetapi kehadiran anak yang akan menyegarkan kembali kekuatan jiwa mereka.
Tidak ada pasangan yang benar-benar cocok, tidak ada suami istri yang betul-betul serasi, akan ada saja perbedaan yang dapat memercikkan api permasalahan. Adakalanya hubungan pasutri merenggang atau memanas, atau mungkin juga meledak, dan lihatlah anak-anak yang akan menguatkan kembali hubungan pernikahan.
Kepada mata mereka yang bening bak telaga kita menyelami kesejukan yang menyegarkan batin. Kepada keceriaan dan kepolosan anak-anak kita menemukan kekuatan untuk meneguhkan hubungan pernikahan. Anak-anak adalah harta yang sesungguhnya, yang perlu dibanggakan oleh orangtua hingga kelak di mahkamah akhirat.
Kekhawatiran itu sudah berhembus kencang di penjuru dunia, terlebih sejumlah negara yang cemas melihat angka kematian melebihi angka kelahiran. Penyebabnya bukanlah perang atau wabah, melainkan keengganan pasangan untuk memiliki keturunan, dan kejutannya hal demikian malah berlangsung di negara-negara maju.
Tentunya kaum muslimin dapat menjadi bagian dari dunia modern, tetapi bukan berarti menafikan keberadaan anak, jangan sampai salah perspektif terhadap kehadiran anak. Islam telah menegaskan dalam banyak ayat supaya anak-anak dijadikan prioritas, dijadikan sumber energi, dijadikan pengokoh hubungan.
Bagaimana dengan pasangan yang belum memiliki anak?
Jangan khawatir! Nabi Ibrahim dan Nabi Zakaria saja menempuh bilangan tahun yang teramat panjang, melintasi kurun waktu yang sangat lama, berulah kemudian Allah Swt. memberikan keturunan.
Husnuzanlah dengan kenyataan ini, barangkali memang begini cara Ilahi agar pasutri tersebut benar-benar menyiapkan diri untuk kelak nantinya memiliki anak-anak yang saleh salehah.
KOMENTAR ANDA